Ngulik 4 Karya Seni dari 4 Perupa

museum macan

NININMENULIS.COM – Ngulik 4 Karya Seni dari 4 Perupa yang saat ini karyanya dipamerkan di Museum Macan. Berhubung PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar masih diberlakukan, yuk kita tengok 4 karya seni untuk mengobati kerinduan kita untuk menyaksikan pameran seni secara langsung. Ke-empat karya tersebut yakni lukisan Ngaso karya Sudjojono, Map of Bali karya Miguel Covarrubias, ASEAN+3 oleh Yukinori Yanagi, dan lukisan Lingga–Yoni yang dibuat oleh Arahmaiani. Yuk kita kulik satu persatu.

Ngaso

Lukisan Ngaso dibuat oleh Sudjojono berdasarkan peristiwa yang terjadi tak lama setelah proklamasi kemerdekaan atau masa yang disebut sebagai Revolusi Nasional Indonesia. Dalam lukisan ini, Sudjojono menggambarkan pejuang-pejuang kemerdekaan yang sedang beristirahat atau ngaso di sebuah reruntuhan, di tengah pertempuran melawan pasukan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu, Sudjojono sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta, untuk menghadiri Kongres Pemuda I. Dalam perjalanan tersebut, ia dan rekan-rekannya singgah di markas Angkatan Pemuda Indonesia di Cikampek, Jawa Barat. Selama masa persinggahan ini, Sudjojono menggambar berbagai perisitiwa yang terjadi selama pertempuran yang kemudian baru dijadikan lukisan hampir 20 tahun setelahnya.

lukisan ngaso

Ngaso karya Sudjojono

Selain lukisan Ngaso, Sudjojono juga membuat lukisan lain berjudul Pertemuan di Tjikampek jang Bersedjarah (1964) serta lukisan berjudul Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964) yang ada di koleksi Istana Negara RI.

Sudjojono, lahir pada 1913 dan meninggal pada 1985, merupakan salah satu pelukis yang mempelopori kemunculan seni lukis modern Indonesia di tahun 1940-an. Di masa itu, ia terlibat dalam berbagai kelompok, antara lain Seniman Indonesia Muda yang didirikan sebagai upaya untuk membantu pemerintah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.

Seperti banyak pelukis di Indonesia pada masa Revolusi, Sudjojono terlibat langsung dalam pergerakan politik dan turut mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di garis depan. Hal ini merupakan bagian dari ideologi artistiknya, yaitu realisme, yang berusaha menggerakkan seni untuk kepentingan rakyat dan menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masa itu. Ia dikenal dengan istilah yang dibuatnya, “Jiwa Ketok”, yang menganggap bahwa karya seorang pelukis merupakan cerminan dari diri dan identitasnya.

Bagi aku, salah satu hal yang menarik dari lukisan ini ialah bagaimana Sudjojono tidak menggambarkan sebuah pertempuran dengan aksi-aksi heroik, atau penggambaran tokoh nasional yang bersifat propaganda, justru di dalam lukisan ini Sudjojono melukiskan delapan pejuang yang tak bernama. Selain menunjukkan tentang peran rakyat biasa dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, lukisan ini juga menunjukkan sisi-sisi yang lebih humanis dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Map of Bali

Karya ini dibuat oleh Miguel Covarrubias setelah ia berkunjung ke Bali di tahun 1930-an. Covarrubias merupakan seorang perupa yang lahir di Meksiko pada 1904 dan meninggal di negara yang sama pada 1957. Ia bekerja sebagai kartografer di Meksiko, sebelum pindah ke New York pada 1923 dan bekerja sebagai ilustrator untuk berbagai media besar seperti Vanity Fair, New York Herald, dan New York Evening Post.

Tahun 1930, Covarrubias menikah dengan Rosa Rolanda, seorang perupa, penari, dan koreografer. Pasangan baru tersebut kemudian pergi mengunjungi Jepang, Tiongkok, dan Hindia Belanda, mulai dari Sumatera, Jawa, hingga akhirnya mereka sampai di Bali.

map of bali

Map of Bali karya Miguel Covarrubias

Peta pulau Bali ini dibuat dengan gaya ilustratif berdasarkan interpretasi artistik Covarrubias ketika dia dan istrinya berkunjung ke sana. Dia membuat karya ini dengan pendekatan etnografi, sebuah cabang ilmu sosial yang bertujuan untuk mengumpulkan data berdasar observasi mengenai kebudayaan masyarakat tertentu. Karya ini memperlihatkan fitur-fitur geografis bali seperti gunung, sawah, laut, pura, juga beberapa lokasi penting di Bali seperti Buleleng, yang merupakan ibukota koloni Belanda di masa itu, dan kawasan lain seperti Denpasar, Gianyar, Tabanan, dan Klungkung.

Dalam karya ini, Bali digambarkan sebagai tujuan wisata yang eksotis melalui stereotip seperti keindahan alam, flora-fauna, serta aktivitas penduduk lokal yang dijadikan objek bagi para turis, terutama dari Eropa. Karya ini juga menunjukkan bagaimana citra Bali yang kita kenal hari ini, pada mulanya dibentuk oleh konstruksi pemerintah kolonial Belanda dan para turis Eropa di awal abad ke-20.

Pada tahun 1937, Covarrubias menerbitkan buku berjudul “Island of Bali”, yang berisi tulisan dan ilustrasi dari kunjungannya beserta foto-foto dokumentasi yang diambil oleh istrinya dan karya ini menjadi sampulnya. Buku ini mendapat banyak pujian di Amerika Serikat dan dianggap turut berperan dalam mempopulerkan Bali sebagai tujuan wisata bagi para turis Amerika setelah Perang Dunia II berakhir di tahun 1945.

ASEAN+3

Karya ASEAN+3 ini dibuat khusus oleh Yukinori Yanagi untuk Museum Macan di tahun 2017. Yanagi adalah seorang perupa yang lahir di Jepang pada 1959. Waktu kecil, Yanagi yang tumbuh di pinggiran kota sering bermain dengan serangga dan mengagumi karakter dan perilaku mereka. Pengalaman tersebut yang menginspirasinya untuk membuat karya-karya instalasi yang memanfaatkan pergerakan semut hidup yang membuatkan dikenal di dunia seni rupa global.

lukisan di museum macan

ASEAN+3 Karya Yukinori Yanagi

ASEAN+3 terbuat dari 13 kotak akrilik yang diisi pasir berwarna yang disusun menjadi bendera-bendera negara anggota Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) ditambah dengan tiga negara penting lainnya di Asia yaitu Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Masing-masing bendera terhubung dengan selang dan kemudian diisi dengan ribuan semut hidup. Dalam proses pembuatan karya ini, Museum MACAN juga bekerjasama dengan para ahli biologi dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).

Dalam instalasi ini, terdapat proses konstruksi dan dekonstruksi terjadi secara terus menerus dalam sebuah lingkungan yang terkontrol. Seiring waktu, semut-semut tersebut berpindah dengan menggali terowongan yang menghubungkan bendera satu dengan lainnya dan turut memindahkan pasir dari bendera-bendera teresebut. Hal ini merupakan representasi dari pergerakan manusia yang terjadi antar negara.

Instalasi Yanagi menyinggung berbagai isu geopolitik, ekonomi, pertukaran budaya, dan migrasi penduduk yang terjadi di Asia akibat globalisasi. ASEAN sendiri didirikan tahun 1967 yang diprakarsai oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. ASEAN bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas regional, dan mendorong berbagai kolaborasi antar anggotanya pasca Perang Dunia II.

Sejak itu, ASEAN berkembang menjadi organisasi yang vital dalam kerangka geopolitik dan diplomasi global, terutama sejak krisis keuangan 1997 yang menyebabkan adanya pergeserah kekuatan dari Eropa dan Amerika menuju Asia. Instalasi ini melihat kembali hubungan antar berbagai negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang bukan hanya berkembang dari kedekatan geografis, tetapi juga dari persamaan sejarah kolonisasi, budaya, dan hubungan perdagangan di masa lampau.

Semut-semut menjadi metafora mengenai hubungan antar manusia, antar bangsa, dan alam serta membuka berbagai pertanyaan tentang masa depan. Bagaimana sebuah negara menempatkan dirinya di abad ke-21? Apakah konsep negara masih relevan ketika manusia, barang dagangan, dan informasi telah sangat terhubung? Yanagi mengajak kita untuk merenungkan kembali mengenai konsep-konsep negara dan kebangsaan tersebut.

Lingga–Yoni

Lukisan Lingga–Yoni ini dibuat oleh Arahmaiani, seorang perupa Indonesia yang lahir tahun 1961. Arahmaiani dikenal sebagai seorang perupa yang sejak 1980-an aktif mengangkat berbagai isu sosial-politik, gender, dan lingkungan melalui berbagai karya lukisan, drawing, instalasi dan performans. Dalam lukisan ini, Arahmaiani menggambarkan simbol sakral dalam budaya Hindu, yaitu simbol lingga–yoni yang melambangkan regenerasi dan keseimbangan alam antara energi feminin dan maskulin.

lukisan lingga-yoni

Lingga-Yoni karya Arahmaiani

Akan tetapi, Arahmaiani sengaja menempatkan posisi yoni yang biasanya diletakkan di bawah, menjadi di atas untuk menyinggung soal kesetaraan gender. Di sekeliling simbol tersebut terdapat teks yang ditulis dalam dua aksara berbeda. Di bagian atas, Arahmaiani menulis teks dalam aksara Jawi, atau di sini juga disebut Arab Pegon, yang berbunyi ‘alam adalah buku’ dan diikuti dengan dua belas huruf pertama dalam abjad Arab. Sedangkan di bagian bawah, Arahmaiani menuliskan baris pertama dari Prasasti Jambu di Jawa Barat yang menceritakan tentang Purnawarman, pemimpin Tarumanegara, kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-5.

Dalam lukisan ini Arahmaiani menggabungkan berbagai simbol dari berbagai sejarah Jawa, mulai dari ajaran animisme, Hindu, hingga Islam – yang menggambarkan proses perkembangan budaya di nusantara sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang, dan memberikan penekanan pada nilai-nilai keberagaman yang terkandung di dalamnya.

Karya ini merupakan salah satu karya terpenting Arahmaiani yang menandai ketertarikannya terhadap isu-isu budaya, sejarah, agama, dan toleransi yang sampai saat ini terus diangkat dalam karya-karyanya. Ketika pertama kali dipamerkan di Jakarta tahun 1994 dalam pameran tunggalnya yang berjudul Sex, Coca-cola, and Religion di Rumah Seni Oncor, lukisan ini menuai kontroversi. Sekelompok orang mengaggap lukisan ini menyinggung agamanya dan akhirnya pameran harus ditutup lebih cepat dari jadwal semula.

Beberapa tahun setelahnya, Arahmaiani menjual lukisan tersebut dan sejak itu tidak pernah dipamerkan ke publik, hingga akhirnya pada 2017 berhasil diidentifikasi keberadaannya dan kemudian dikoleksi oleh Museum Macan.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply