Banyak yang tidak mengetahui kalau pada tanggal 28 Januari 2024 kemarin, kita memperingati Hari Kusta Sedunia 2024. “Bukan hanya generasi Z, generasi sebelumnya banyak yang tidak tahu,” buka Hana Krismawati Msc, Pegiat Kusta dan Analis Kebijakan Pusat Sistem dan Strategi Kesehatan Minister Office. Padahal menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menduduki peringkat 3 penyakit kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil.
Tag: Berita KBR
Masih besarnya stigma mengatasnamakan agama di masyarakat mengenai OYPMK, menjadikan penyakit kusta tidak juga hengkang dari Indonesia. Sebenarnya bagaimana sih agama memandang penyakit kusta? Lalu bagaimana kita meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melihat OYPMK dan penyandang disabilitas?
Championing Environmental Crime Reporting in Indonesia 2021-2023 merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Environmental Justice Foundation (EFJ) bekerja sama dengan KBR dan Tempo Institute (TI) sejak April 2021. Acara ini juga mendapat dukungan dari The Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs of The US Embassy (INL), Jakarta. Acara yang diselenggarakan di Auditorium Lantai 2, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Senin (20/3) lalu ini dapat juga disaksikan secara streaming di kanal YouTube Berita KBR.
Melihat tingginya angka kebencanaan yang terjadi di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya mitigasi dan penanganan bencana alam. Seperti yang kita tahu, setiap orang tanpa pandang bulu bisa menjadi korban bencana alam termasuk penyandang disabilitas dan OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta). Meski BNPB sudah punya rencana mitigasi bagi kelompok disabilitas, namun dalam pelaksanaannya, hal ini tetap perlu pengawasan dari berbagai pihak. Lalu bagaimana mitigasi bencana bagi OYPMK dan penyandang disabilitas yang sudah dilakukan? Seberapa efektifkah langkah yang sudah dilakukan?
Sama halnya dengan penyandang disabilitas dewasa baik yang disebabkan oleh kusta atau ragam disabilitas lainnya, demikian pula dengan anak dengan disabilitas dan kusta masih tetap terjebak dalam lingkaran diskriminasi. Terlebih pada anak, salah satu hambatan terbesarnya yaitu banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakuan yang salah, baik dalam hal pendidikan hingga lingkungan sosialnya. Lalu, bagaimana upaya pemenuhan hak dan pendidikan yang inklusi pada anak dengan disabilitas dan kusta dapat segera terwujud? Apa saja upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak dengan disabilitas dan kusta sejauh ini?
Bagaimana OYPMK memaknai kemerdekaan dan kebebasan dalam berkarya, kesejahteraan mental, dapat bersosialisasi di masyarakat tanpa adanya hambatan dan stigma baik dari diri sendiri maupun lingkungan yang melekat pada dirinya? Apa peran serta masyarakat dan orang-orang terdekat dalam upaya mendukung pemberdayaan OYPMK dan penyandang disabilitas?
Masih adanya anggapan dari para orang tua bahwa remaja disabilitas dan OYPMK tidak membutuhkan pengetahuan seksual sekaligus stigma bahwa disabilitas dan OYPMK tidak bisa menikah dan terpenuhi hak reproduksinya membuat hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka menjadi terabaikan. Lalu bagaimana menyiapkan remaja dengan ragam disabilitas maupun OYPMK agar mampu menghadapi masa pubertasnya dengan sehat, bahagia, tanpa rasa takut?
Siapa yang kemarin ingin berpergian tetapi diurungkan karena adanya syarat perjalanan yang ‘merepotkan’? Atau siapa yang bingung saat aturan tersebut direvisi dalam waktu cepat? Kemarin pemerintah bilang A, sekarang bilang B, lalu sebagai pelaku perjalanan apa yang perlu kita cermati dari aturan perjalanan yang berubah-ubah ini?
Kita semua tentu menyadari betapa penting peran dokter dalam upaya memberikan layanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Namun sedikitnya jumlah dokter yang semakin diperparah dengan hadirnya COVID-19 membuat layanan kesehatan tidak berjalan optimal. Salah satu kelompok yang terdampak yakni para penderita kusta, di mana untuk beberapa kasus, mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapatkan layanan seperti biasa saat sebelum pandemi. Hal ini mengakibatkan menurunnya temuan kasus baru karena terbatasnya pelacakan kasus, dan angka keparahan atau kecacatan meningkat.