NININMENULIS.COM – Aku adalah orang yang tidak mengenal apa itu masyarakat adat. Saat mendengar kata masyarakat adat yang terbayang sekelompok orang (maaf) primitif yang gemar makan daging manusia. Tetapi itu dulu. Sebelum aku mengenal dan merasakan hidup berdampingan bersama salah satu kelompok masyarakat adat di Indonesia. Kurangnya informasi membuat masyarakat adat tidak dikenal terutama di kalangan generasi muda. Padahal ada hak masyarakat adat yang harus diperjuangkan. Untuk itu diperlukan peran generasi muda yang peduli hak masyarakat adat di Indonesia.
Masyarakat adat adalah kesatuan masyarakat yang teratur di mana para warganya bukan saja terikat pada tempat di suatu daerah tertentu, tetapi memiliki kaitan duniawi dan rohani
-Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, 2003-
Apa jadinya bila 40 mahasiswa dari kota Jakarta yang notabene para generasi muda, tinggal bersama dengan salah satu masyarakat adat di Indonesia selama 3 hari 2 malam?
Aku adalah salah satu dari ke-40 mahasiswa jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta yang saat itu sedang mengemban tugas observasi ke kawasan Kampung Naga untuk mata kuliah Ilmu Lingkungan. Dapat dibilang itulah pertama kalinya aku ‘berkenalan’ dengan yang namanya masyarakat adat. “Punten, nanti masuk kampung mohon dijaga perilaku demi menjaga adat masyarakat,” begitu ujar sesepuh adat Kampung Naga dengan cengkok Sunda halus saat kita tiba.
Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang berlokasi di Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung ini berada di lembah atau jurang yang dalam bahasa Sunda disebut gawir. Itulah mengapaa kampung ini disebut kampung nagawir yang kemudian menjadi Kampung Naga.
Melihat lokasinya di lembah, kita harus menuruni 439 anak tangga dengan penerangan senter dari gawai mengingat hari sudah malam saat kita tiba di sana. Setelah itu kita melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan hingga sampai ke dalam kawasan Kampung Naga. Hanya suara gemericik air mengalir yang digerakan oleh generator untuk mengaliri sawah-sawah penduduk dan suara jangkrik yang terdengar saat itu.
“Mengapa Kampung Naga berada di lembah?”, “bagaimana sistem perekonomian di kampung ini?” “jumlah warga yang mendiami Kampung Naga?”, “bagaimana caranya menjaga menjaga lingkungan?”, dan lain sebagainya adalah beberapa pertanyaan yang terlontar sepanjang perjalanan, tetapi sesepuh kampung hanya mengeluarkan kalimat, “sebentar lagi kita sampai.” tanpa menjawab satu pertanyaan pun.
Sebelum kita tinggal dan ‘disebar’ di rumah penduduk selama 3 hari ke depan, terlebih dahulu dikumpulkan di balai kampung untuk diberi pengarahan apa yang menjadi adat di sana dan pamali untuk dilanggar. Termasuk pamali menceritakan asal usul kampung di hari yang bertepatan saat kita datang. “Ooo… pantas hari ini pertanyaan kita tidak ada yang dijawab.” Namun sesepuh kampung berjanji kita akan dikumpulkan kembali keesokan harinya di tempat yang sama untuk menjawab semua pertanyaan tersebut.
Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali merupakan larangan melakukan sesuatu yang tidak baik. Pamali mengambil ikan dengan racun, mengotori air sungai dengan sabun, atau menebang pohon di hutan adalah bentuk pamali yang ada di sini. Tidak ada rambu peringatan dilarang menebang pohon terlihat namun semua yang pamali sudah menjadi hukum yang tidak tertulis dan harus dipatuhi oleh semuanya. Hutan yang disebut Leweung Biuk ini luasnya memang hanya sekitar 1,5 hektar, tetapi warga percaya bahwa hidup mereka tak akan selamat jika hutan tidak dirawat.
Untuk urusan kebutuhan sehari-hari, masyarakat Kampung Naga terkenal mandiri dengan pangan mereka. Lahan pertanian yang ada dapat dipanen dua kali dalam setahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan warga di 110 rumah tinggal yang ada di sana setiap tahunnya. Selain lahan pertanian, warga juga memanfaatkan perkarangan dengan beternak dan membangun kolam ikan.
Dalam membangun rumah, masyarakat Kampung Naga juga memiliki ‘itung-itungan’ sendiri yang bila dicermati ada maksud yang masuk akal di dalamnya. Mereka tidak menggunakan arsitek khusus atau menggunakan panduan buku Data Arsitek-nya Ernest Neufert dalam membangun, mereka percaya alam akan memberikan yang terbaik bila mereka bersahabat dengan alam. “Kita bukan hanya tinggal di alam, tetapi kita tinggal bersama alam.”
Semua bangunan di Kampung Naga memiliki bentuk dan susunan yang sama. Semua rumah di bangun di atas pondasi batu berjarak 60 cm dari permukaan tanah yang disangga kerangka kayu. Bentuk atap segitiga yang disebut cagak gunting ditutupi bahan tradisional sebagai penutupnya. Jumlah bangunan di Kampung Naga jumlahnya tidak pernah bertambah, semuanya memanjang dari Timur ke Barat, sejalan dengan alur matahari agar rumah lebih sehat dengan sirkulasi dan cahaya yang baik. Untuk pintu masuk berada di Selatan dan Utara yang dimaksudkan bila terjadi kebakaran lekas diketahui.
Perihal rumah panggung di mana pondasi berjarak antara permukaan tanah dan lantai pun berfungsi mengatur suhu dan kelembaban udara. Secara konseptual rumah adat di Kampung Naga sudah sesuai teknologi kekinian, berbahan ringan dan kokoh, juga memiliki dua pintu yang sesuai aturan mitigasi bencana kebakaran saat ini. Bisa dibilang, masyarakat adat Kampung Naga maju tanpa harus merubah bentang alam.
Contents
Masyarakat Adat Riwayatmu Kini
Masyarakat adat Kampung Naga adalah salah satu contoh kecil keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Kita semua tahu bahwa Indonesia sangat luas dengan beragam masyarakat adat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Mengutip KataData, sekitar 70 juta masyarakat adat yang terbagi menjadi menjadi 2.371 komunitas adat tersebar di 31 provinsi. Adapun sebaran masyarakat adat terbanyak berada di Kalimantan dengan jumlah 772 dan Sulawesi sebanyak 664 masyarakat adat. Sedangkan di Sumatera mencapai 392 masyarakat adat, Bali dan Nusa Tenggara 253 masyarakat adat, Maluku 176 masyarakat adat, Papua 59 masyarakat adat, dan Jawa 55 masyarakat adat.
Masyarakat Kampung Naga termasuk salah satu masyarakat adat yang dapat menikmati alamnya dengan kearifan yang mereka miliki. Di luar sana ternyata sangat banyak masyarakat adat di Indonesia yang masih harus berjuang melindungi tanah dan alam yang mereka miliki karena tidak sedikit hak masyarakat adat di Indonesia yang terampas, misalnya seperti:
-
Hak ekonomi dan sosial yang termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, bebas berpolitik dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
-
Hak memperoleh pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk hak untuk melakukan kehidupan budaya.
-
Hak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hak berkomunikasi, hak memperoleh informasi, hak melaksanakan kepercayaannya, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
-
Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan menjalankan hak mereka, khusus yang didasarkan atas asal usul atau identitas mereka.
-
Hak untuk tidak dipindahkan dari tanah atau wilayah mereka. Tidak direlokasi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan sebelum ada kesepakatan perihal ganti rugi yang adil dan memuaskan. Jika dimungkinkan dengan pilihan untuk kembali lagi.
Kurangnya informasi dan minimnya kepedulian kita terhadap hak masyarakat adat di Indonesia-lah yang menjadikan ‘perampasan’ hak masyarakat adat terjadi terus menerus bahkan tidak sedikit masyarakat adat yang harus terusir dari kampungnya. Usaha pemberian hak pengelolaan atas tanah adat justru tersampaikan sebagai informasi ‘bagi-bagi tanah’. Faktanya masih banyak masyarakat adat yang masih mendapat diskriminasi hingga berujung tindakan hukum.
Generasi Muda Harapan Masyarakat Adat
Tidak mudah memang menyatukan seluruh daerah di Indonesia yang tersebar dan dipisahkan oleh perairan. Kondisi alam dan belum meratanya teknologi membuat informasi yang ‘sampai’ tidak dengan semestinya.
Aku jadi teringat saat kita ber-40 kembali dari Kampung Naga. Kita yang biasanya ramai penuh canda menjadi diam seketika. Bukan diam karena harus menaiki ke-439 anak tangga, tetapi begitu banyak kesan positif yang kita dapatkan setelah berinteraksi dan ‘belajar’ di Kampung Naga. Sebersit pemikiran seperti, “jika bukan tugas kuliah, apakah kita akan mengenal yang namanya masyarakat adat?’”atau “apakah kita memiliki pemikiran yang sama tentang masyarakat adat bila masing-masing dari kita tidak mendapatkan pengetahuan yang sama?” pun hadir.
Perjalanan pulang saat itu tidak saja menyisakan banyak pertanyaan namun juga memberikan banyak pemahaman akan sebuah kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Sebuah harapan yang besar pun hadir, “kalau nanti aku jadi pemimpin, akan aku buat semua orang mendapatkan pendidikan juga informasi yang benar tentang masyarakat adat. Kalau perlu aku adakan pelajaran ilmu budaya yang tidak hanya mempelajari kesenian tetapi juga hukum adat dan kebiasaan di masing-masing kampung adat di daerahnya. Biar semua generasi muda paham dan berkontribusi melindungi hak masyarakat adat di Indonesia.”
Jika harus menunggu menjadi pemimpin dulu baru melindungi hak masyarakat adat di Indonesia tentu akan menjadi suatu ketidakpastian. Masyarakat adat tidak bisa menunggu selama itu. Dari peran generasi muda seperti aku, kamu dan kita semualah perubahan itu dapat terjadi. Generasi muda adalah generasi yang aktif dan paling berpengaruh untuk perubahan terutama di dunia digital seperti sekarang ini.
Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia
-Ir. Soekarno-
Lalu apa yang dapat dilakukan generasi muda untuk melindungi hak masyarakat adat di Indonesia? Lakukanlah dari hal yang paling sederhana:
-
Menghargai semua hukum adat dan kepercayaan yang sudah menjadi budaya di lingkungan masyarakat adat
Indonesia sebagai negara yang memiliki kesenian dan bahasa berbeda-beda tentu kita semua ketahui. Tetapi lapangkah hati kita menerima kepercayaan dan hukum adat yang berbeda juga? Masyarakat adat memiliki hukum adat dan kepercayaan warisan leluhur yang tidak tertulis untuk mengatur semua persoalan hidup di lingkungannya. Sikap kita untuk menghargai dengan tidak memaksakan kepercayaan dan hukum yang kita miliki.
-
Menjadi influencer untuk menyebarkan informasi yang benar tentang masyarakat adat
Generasi muda, sang pemilik teknologi sudah sepatutnya mulai menyebarkan informasi yang baik dan bermanfaat. Generasi anti hoax dan generasi penyebar kebaikan adalah peran peran generasi muda saat ini. Sebarkan hal baik tentang masyarakat adat, beritakan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kekayaan hayati yang tidak mereka miliki.
-
Membeli produk lokal yang dihasilkan oleh para masyarakat adat
Menjamurnya produk asing bukan berarti menjadikan kita generasi muda yang sok kebarat-baratan. Kehadiran produk asing justru harus menjadikan kita generasi yang cinta produk lokal terutama buatan masyarakat adat. Selain khas, produk buatan masyarakat adat memiliki makna dan ceritanya sendiri. Hal ini tidak akan kita jumpai pada produk asing.
-
Tidak mendiskriminasi keberadaan masyarakat adat
Menjadi generasi yang ramah kepada siapapun termasuk saat harus hidup berdampingan dengan masyarakat adat. Hilangkan semua pemikiran negatif, ingat kita tinggal di negara yang sama, Indonesia.
-
Jika saat ini ada tagline pariwisata #DiIndonesiaAja maka viralkan juga tagline wisata #KeKampungAdatAja
Jadikan hutan dan lingkungan tempat masyarakat adat tinggal menjadi destinasi wajib untuk dikunjungi. Merasakan sendiri bagaimana hukum adat mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat adat tentu menjadi pengetahuan yang langka dan membuka wawasan kita akan beragamnya budaya Indonesia.
Ternyata banyak peran generasi muda yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hak masyarakat adat di Indonesia. Seperti falsafah hidup orang Sunda yang aku dapatkan di Kampung Naga, Silih Asah (saling memintarkan), Silih Asih (saling menyayangi), dan Silih Asuh (saling memelihara). Tiga perilaku yang harus kita tanamkan menjadi satu kesatuan untuk membentuk tatanan masyarakat beradab luhur.
#Kabarhutanku #GolonganHutan #GolHutXBPN #BlogCompetitionSeries