Novel Yang Tak Kunjung Usai

NININMENULIS.COM – Yang Tak Kunjung Usai, begitu judul novel yang baru saja aku selesaikan bacanya. Sebuah novel karya Awi Chin yang di-published pada 20 Juli 2020 lalu. Entah kebetulan atau memang disengaja untuk penetapan tanggal published-nya, cerita di dalam novel Yang Tak Kunjung Usai pun dimulai di bulan Juli. Ada apa dengan bulan Juli? Hanya Sang Penulis yang dapat menjawab, begitupun dengan ending cerita di novel ini, semua di tangan penulis.

Novel Yang Tak Kunjung Usai memiliki sampul depan yang minimalis. Namun itu justru membuatnya terlihat eye catching di antara buku-buku lainnya. Ia tidak terlihat mencolok, sederhana, tetapi dapat membuat siapapun berhenti di depannya karena terdorong dengan rasa penasaran. Yang Tak Kunjung Usai memiliki sampul dominasi putih dengan sedikit aksen oranye pada silhouette tiga manusia dan bayangannya. Desain minimalis di paperback yang terkesan ‘ringan’ dan akhirnya ‘menarik’ aku membeli novel ini.

Aku tidak ingin mencintaimu seperti matahari, yang hanya menyinari sedari pagi sampai senja berakhir.

Aku tidak ingin mencintaimu seperti awan, yang hanya berarak sekejap lalu hilang menjadi hujan.

Biarkan aku mencintai seperti sungai, yang terus mengalir dan mengulir menyusuri bantaran takdir. Bahkan saat ia terbelah dan terpecah, arusnya akan terus mengalir sampai ke waktu yang tak kunjung usai.

Begitu cuplikan cerita yang ada di sampul belakang novel Yang Tak Kunjung Usai. Dari sinilah aku tahu darimana judul novel ini diambil. Dari sini juga kita bisa menebak cerita apa yang disajikan di 388 halaman di dalamnya. Yess, tentang cerita cinta anak manusia. Tema cinta memang tidak pernah ada habisnya untuk dieksplor ke dalam tulisan. Tetapi cerita cinta yang bagaimana yang disajikan di dalam novel Yang Tak Kunjung Usai ini?

BL Story

Jika teliti, dengan melihat sampul depannya saja kita sudah tahu bahwa novel Yang Tak Kunjung Usai ini bercerita tentang cinta segitiga antara dua laki-laki dan satu perempuan. Yang membuat cerita ini menarik, novel ini tidak menceritakan seorang wanita di antara dua laki-laki, melainkan cinta seorang laki-laki di antara seorang perempuan dan satu orang laki-laki. Yup, buku ini mengambil tema boys love atau BL.

yang tak kunjung usai
Cover depan dan belakang Novel Yang Tak Kunjung Usai

Di beberapa negara tema BL memang sangat biasa, tetapi di Indonesia tema BL masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Novel Yang Tak Kunjung Usai ini merupakan buku keempat dengan genre serupa yang pernah aku baca, jadi nggak heran bila saat membaca jalan ceritanya di awal, aku langsung teringat Novel Lelaki Terindah karya Andrei Aksana. Bagaimana pria yang menjadi sosok sentral dalam cerita sangat memuja pria lain yang dicintainya. Yang menariknya di novel Yang Tak Kunjung Usai, ada sosok perempuan hadir di antara mereka.

Novel Yang Tak Kunjung Usai bercerita tentang sosok Saul, Bagas, dan Mey yang masih di duduk di bangku sekolah menengah atas. Cerita dibuka oleh perpindahan Saul dari Ibukota Jakarta ke Senjau setelah Sang Ayah, orang tua yang ia miliki satu-satunya meninggal dan mengharuskan ia tinggal bersama Sang Nenek. Dalam perjalanan ke rumah Sang Nenek yang ia panggil dengan sebutan pho-pho inilah Saul bertama kali berjumpa dengan Bagas, seorang pemuda sepantaran dengannya yang memiliki ayah seorang kepala suku Dayak.

Cerita di novel Yang Tak Kunjung Usai ini memang mengambil latar belakang dua budaya suku Dayak dan Tionghoa, dan juga berlatar agama Kristen. Dengan latar belakang seperti ini sudah tentu menghadirkan dilema dalam kisah cinta Saul dan Bagas. Di satu sisi mereka saling mencintai, di sisi yang lain mereka menyadari kalau adat dan agama yang mereka anut melarang apa yang mereka lakukan. Dari melakukan kisah cinta kucing-kucingan akhirnya Saul dan Bagas merencanakan ‘drama’ di mana Saul harus berpacaran dengan Mey, saat kisah BL nya mulai diketahui banyak orang. Tetapi ‘drama’ pacaran Saul dan Mey justru menjadi boomerang buat mereka bertiga ketika didapati Mey hamil oleh Saul setelah meminum arak.

Konflik pun semakin melebar, mulai konflik Bagas dan Saul yang semakin mendapati kisah cintanya tak mungkin bersatu, konflik Mey yang tidak bisa menerima kehamilannya karena memiliki cita-cita besar untuk masa depannya, konflik dengan lingkungan sekitar, hingga pertentangan budaya di keluarga ketiganya. Bagaimana Saul, Bagas, dan Mey menyelesaikan semua konflik yang mereka hadapi? Lagi-lagi seperti yang aku tuliskan di awal, ending novel Yang Tak Kunjung Usai berada di tangan penulis. Penulis yang mengatur ‘jodoh’ ketiganya terlepas apapun budaya dan agama yang menjadi latar belakang novel ini.

Kisah Saul, Bagas, dan Mey

Jika di-rating dalam skala 5, novel Yang Tak Kunjung Usai aku beri 3 bintang. Mengapa? Selain desain covernya yang minimalis namun dapat mengungkapkan cerita di dalamnya, buku ini memiliki latar melakang budaya yang membuat aku semakin bersemangat membuka setiap halamannya. Latar belakang budaya dan agama masih menjadi bumbu yang lezat dalam sebuah cerita. Selain itu karakter yang ditampilkan dalam sosok Saul, Bagas, dan Mey masing-masing memiliki cerita yang kuat.

yang tak kunjung usai
Judul : Yang Tak Kunjung Usai (ISBN139786024814090)
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Published : 20 Juli 2020
Penulis : Awi Chin
Jumlah halaman : 388 Halaman

Saul, seorang dari Ibukota dengan segala kemodern-annya harus tinggal bersama neneknya yang kental dengan budaya Tionghoa. Saul yang dibesarkan Sang Ayah harus menelan semua misteri akan sosok Sang Ibu hingga menjadikan ia sosok yang tak mudah didekati. Dari yang awalnya tidak tahu, Saul akhirnya mengetahui tentang semua sejarah keluarganya, termasuk tragedi yang pernah menimpa Sang Nenek.

Sedangkan Bagas, seorang ketua kelas dan sosok yang dikenal ceria di antara teman-temannya. Bagas yang berayahkan seorang kepala suku Dayak sangat menjujung tinggi nilai luhur nenek moyang dan juga agama yang dianutnya. Di balik sosoknya yang ramah, ternyata Bagas memiliki trauma yang tidak semua orang tahu. Berbeda dengan Saul yang memproklamirkan dirinya seorang atheis, Bagas justru anak yang taat beribadah dan berdoa. Ia tipe orang yang mendoakan segalanya, bukan hanya dirinya tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Bagi Bagas, Tuhan Maha Mendengar dan solusi dari semua permasalahan hidup yang dialaminya.

Mey, adalah sosok perempuan satu-satunya yang ada di dalam cerita novel Yang Tak Kunjung Usai. Mey digambarkan seorang perempuan cantik, gigih, dan paling pintar di kelasnya. Mey memiliki tekad yang kuat kuliah di jurusan arsitektur. Mey masih memiliki tali kekerabatan dengan Saul, karena itu cerita tentang pernikahan mereka sempat ditentang keluarga besar Mey.

Alur cerita dipaparkan dengan sangat menarik di mana masing-masing tokoh ‘bercerita’ akan dirinya. Membaca novel Yang Tak Kunjung Usai, aku seperti menonton sebuah film. Sangat dramatis dan memiliki plot-plot scene masing-masing karakter. Meskipun ada bagian yang terasa dipaksakan, namun novel ini sangat menarik dan ringan dibaca sembari menghirup kopi.

Ekspektasi Novel Yang Tak Kunjung Usai

Ekspektasi aku sangat besar saat membaca novel Yang Tak Kunjung Usai. Berharap terungkapnya semua misteri yang menyelimuti kehidupan Saul, Bagas, dan Mey akan menjadi klimaks yang mencengangkan, namun aku tidak merasakan itu semua. Semuanya jadi terasa sangat klise, mulai dari cara penulis mengurai konflik hingga ending yang terkesan ‘terlalu mudah’.

Latar belakang yang lezat justru tidak digali lebih dalam, dan hanya dijadikan sebuah pembenaran. Betapa penasarannya aku tentang trauma yang dialami Bagas saat ia diperkosa oleh pria dari suku Dayak lainnya. Menjadi pertanyaan adalah mengapa diperkosa? Bagian dari adatkah atau sekadar suka-suka? Padahal seperti yang kita tahu, bahkan Wikipedia pun menulis, praktek sesama jenis telah ada dan menjadi salah satu ritual di beberapa adat di Indonesia. Misalkan, suku Bugis yang mengenal lima jenis kelamin atau tradisi warok-gemblak di masyarakat Ponorogo, Jawa Timur di mana seorang warok meskipun telah beristri tetap memiliki gemblak seorang pria sebagai simpanannya.

Cara penulis bercerita sangat menarik dengan menaruh masing-masing tokoh berbicara, tetapi sayangnya tidak didukung pendalaman karakter yang kuat, sehingga jika kita tidak melihat karakter siapa yang saat ini berbicara, kita tidak menemukan perbedaannya. Padahal Saul, Bagas, dan Mey memiliki karakter kuat yang seharusnya terlihat ketika mereka bertutur.

Karakter yang seharusnya terlihat kuat, justru terasa dilemahkan. Bagaimana seorang Mey, sosok perempuan satu-satunya yang diceritakan paling pintar, gigih, dan berpikiran maju justru di beberapa cerita terasa dikerdilkan. Misalnya saat ia memutuskan akan menyerahkan anak yang dikandung ke kakak perempuannya hanya karena menyaksikan Choco, anjing piaraan mereka mati. Dan lucunya, Saul yang menentang keras ide ini akhirnya melakukan hal yang Mey sarankan namun dengan alasan yang terasa menjadi sebuah pembenaran – demi masa depan. Kepintaran Mey tidak bisa digambarkan hanya karena ia ‘menerima’ suaminya mencintai sesama.

Bukan hanya latar belakang budaya yang tidak terlalu digali lebih dalam di dalam Novel Yang Tak Kunjung Usai, nilai agama yang disajikan juga terasa sebagai pelengkap yang jika tidak dipakai pun tidak masalah. Ayat-ayat yang ditampilkan hanya menjadi pemanis agar pembaca kembali dingatkan akan ayat tersebut. Awalnya aku kira kembalinya Saul ke Tuhan adalah sebuah ending yang manis, nyata kembali lagi ending di tangan penulis.

Sebuah kalimat di alenia akhir, ….. Mungkin cinta tak berhasil menemukan jalannya dulu tetapi sekarang, ia pasti berhasil …… terasa mengganggu. Alangkah manis jika endingnya tertulis, ….. Mungkin cinta tak berhasil menemukan jalan- Nya dulu tetapi sekarang, ia pasti berhasil …… Terasa perbedaannya?

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply