Tantangan Para Dokter Mengatasi Penyebaran Kusta di Tengah Pandemi

ruang publik kbr

NININMENULIS.COM – Sejak akhir 2019 perhatian dunia semua terpusat ke virus COVID-19. Wabah yang saat ini (31/10) telah merengut 5 juta nyawa penduduk dunia, hingga kini memang belum usai. Tidak terkecuali di Indonesia. Usaha vaksinasi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan masih terus dilakukan. Kekhawatiran akan gelombang ketiga yang diprediksi hadir di akhir 2021 pun menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana tidak? Masih terbayang jelas di bulan Juni lalu beribu korban berjatuhan. Rumah sakit kolaps, oksigen menjadi barang langka, dan tidak sedikit tenaga kesehatan mulai dari dokter hingga perawat pun tumbang menangani banyaknya kasus COVID-19 yang terjadi.

Banyaknya korban jiwa dari para tenaga kesehatan terutama dokter akibat COVID-19 ternyata menyisakan masalah yang tidak sedikit dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat. Ternyata Dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, Indonesia memiliki rasio jumlah dokter yang dapat dikatakan sangat rendah, yaitu 0,4 per 1.000 penduduk. Artinya, hanya terdapat 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk. Dan jumlah ini semakin mengkhawatirkan dengan gugurnya 2 ribu tenaga kesehatan akibat pandemi COVID-19.

“Rasio ideal menurut WHO (World Health Organization) yakni 1 per 1.000 pendududuk. Saat ini kita memiliki 240 ribu-an dokter dengan jumlah dokter umum sebanyak 150 ribu-an orang. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 270 juta jiwa, sudah tentu masih jauh dari angka 1 per 1.000 penduduk,” buka dr Ardiansyah, IDI dari Ikatan Dokter Indonesia.

Kita semua tentu menyadari betapa penting peran dokter dalam upaya memberikan layanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Namun sedikitnya jumlah dokter yang semakin diperparah dengan hadirnya COVID-19 membuat layanan kesehatan tidak berjalan optimal. Salah satu kelompok yang terdampak yakni para penderita kusta, di mana untuk beberapa kasus, mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapatkan layanan seperti biasa saat sebelum pandemi. Hal ini mengakibatkan menurunnya temuan kasus baru karena terbatasnya pelacakan kasus, dan angka keparahan atau kecacatan meningkat.

Lalu bagaimana perjuangan dokter untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal di kondisi seperti ini? Apa saja tantangan yang dihadapi para dokter dan tenaga kesehatan dalam mengatasi penyakit tropis terabaikan seperti kusta di tengah pandemi?

ruang publik kbr
Flyer talkshow Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi

Terkait masalah tersebut sekaligus untuk memperingati Hari Dokter Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 Oktober, pada Jumat (29/10) lalu Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia mengadakan talkshow yang mengangkat tema ‘Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi’. Dalam talkshow selama satu jam itu menghadirkan dua narasumber, dr. Ardiansyah, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan dr. Udeng Daman (Technical Advisor NLR Indonesia).

Talkshow ‘Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi’ yang aku saksikan melalui live YouTube Berita KBR ini juga dapat didengarkan di 100 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id. Talkshow yang dipandu oleh Rizal Wijaya ini berlangsung interaktif, dimana kita dapat bertanya langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalui telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp di 0812 118 8181. Para teman-teman disabilitas dan OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) pun dapat untuk turut menyimak dan memberikan komentar dalam talkshow ini.

Tantangan dalam Mengeliminasi Kusta

Untuk dapat memberikan layanan kesehatan yang optimal sesuai dengan rasio dari WHO, idealnya Indonesia memiliki minimal 270 ribu-an dokter umum. Sehingga saat ini, Indonesia masih kekurangan 120 ribu dokter umum untuk dapat memberikan layanan kesehatan yang merata hingga daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia.

“Selain kuantitas yang belum sesuai standar WHO, masalah utama kurangnya distribusi dokter di daerah terpencil karena belum adanya jaminan kesejahteraan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan bagi para dokter di daerah. Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta pemerintah untuk dicarikan jalan keluar dalam mengatasi kurangnya distribusi dokter di daerah,” kata dr Ardiansyah, IDI.

ruang publik kbr
Live streaming di channel YouTube Berita KBR yang menghadirkan dua narasumber, dr Ardiansyah, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan dr. Udeng Daman (Technical Advisor NLR Indonesia).

Padahal justru di daerah terpencil, kusta belum tereliminasi sempurna. “Berdasarkan data dari Kemenkes RI ada 110 kabupaten atau kota yang tersebar di 21 provinsi belum mencapai eliminasi kusta. Beberapa provinsi memang sudah berstatus tereliminasi, tetapi sebarannya masih belum tereliminasi, misalnya seperti di Jawa Barat yang masih ada di 3 kabupaten dan Aceh di satu kabupaten lagi. Sedangkan di 7 provinsi seperti Papua dan Papua Barat statusnya masih belum tereliminasi,” kata dr. Udeng Daman yang juga menjelaskan bahwa perbedaan eliminasi kusta di setiap daerah ini sangat tergantung akan faktor lingkungan, sanitasi, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, dan perilaku hidup sehat.

Tantangan dalam mengeliminasi kusta ternyata tidak berhenti dari ketidaktersediaan dokter saja, stigma negatif yang masih luas di masyarakat, dan masih kurangnya kesadaran penderita untuk memeriksakan diri ke Puskesmas karena perasaan takut dan malu, masih menjadi kendala besar dalam pelacakan kusta di daerah.

“Saat ini pelayanan kusta dapat diakses di semua faskes, swasta, dan dokter praktek baik di daerah endemik atau bukan. Karena obatnya ada di Puskesmas biasanya ada rujukan atau kordinasi dari dokter yang memeriksa dengan pihak Puskesmas. Sehingga diharapkan adanya kesadaran untuk deteksi dini terhadap kusta,” tutur dr. Udeng Daman.

Upaya Penguatan Kapasitas Tenaga Kesehatan

kusta
Kusta bukan penyakit kutukan dan dapat sembuh dengan pengobatan yang tepat (Foto: NLR Indonesia)

Penguatan kapasitas tenaga kesehatan di daerah yang endemik kusta ataupun bukan endemik memang harus ditingkatkan kembali melalui program-program pelatihan secara formal maupun informal, “justru di daerah yang bukan endemik lebih berisiko karena kurangnya pengawasan dan kurang sigapnya tenaga kesehatan dalam mendeteksi kusta,” lanjut dr. Udeng Daman.

Untuk usaha penguatan kapasitas tenaga kesehatan khususnya dokter, menurut dr Ardiansyah, IDI, Ikatan Dokter Indonesia sudah memiliki strategi yang telah dicanangkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, seperti:

  • Berusaha terlaksananya sumpah dokter Indonesia, termasuk bagaimana memperlakukan pasien kusta sesuai dengan kode etik.

  • Meningkatkan kualitas pendidikan, karena dokter merupakan profesi yang belajarnya seumur hidup. Belajar dari profesi dengan membina kompetensi hingga dokter tersebut tidak berpraktek lagi.

  • Melakukan kemitraan dengan pemerintah terkait kebijakan profesi.

  • Melakukan kemitraan dengan pihak luar dari berbagai profesi seperti media dan radio.

  • Memberdayakan masyarakat dengan cara mengedukasi agar dapat melakukan deteksi dini dan menghapus stigma negatif.

Jika semua pihak saling bersinergi bukan tidak mungkin di 2024 eliminasi kusta di Indonesia akan tercapai. “Tidak hanya tereliminasi tetapi juga harus mencapai tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi),” tutup dr. Udeng Daman.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply