NININMENULIS.COM – Siapa yang kemarin ingin berpergian tetapi diurungkan karena adanya syarat perjalanan yang ‘merepotkan’? Atau siapa yang bingung saat aturan tersebut direvisi dalam waktu cepat? Kemarin pemerintah bilang A, sekarang bilang B, lalu sebagai pelaku perjalanan apa yang perlu kita cermati dari aturan perjalanan yang berubah-ubah ini?
Untuk menjawab kebingungan tersebut, aku mengikuti live streaming Ruang Publik KBR di channel YouTube Berita KBR yang dipersembahkan oleh PMI (Palang Merah Indonesia) dan didukung IFRC. Pada talkshow kali ini, Ruang Publik KBR mengangkat tema ‘PCR dan Antigen Sebagai Syarat Perjalanan’. Talkshow yang diadakan Rabu (10/11) lalu menghadirkan dua narasumber, Dicky Pelupessy, PhD (Kolaborator Ilmuwan LaporCovid-19 & Ketua Lab Intervensi Krisis, Fpsikologi UI) dan dr. Pandu Riono, MPH, PhD (Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia).

Selain mendapatkan informasi dari kedua narasumber, talkshow yang dipandu oleh Ines Nirmala berlangsung interaktif, dimana kita dapat bertanya secara langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalu telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan WhatsApp di 0812 118 8181. Selain di YouTube Berita KBR, talkshow ‘PCR dan Antigen Sebagai Syarat Perjalanan’ juga dapat didengarkan di 100 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id.
Contents
Polemik Aturan Perjalanan di Masa Pandemi
Kita semua tahu bahwa pemerintah baru saja memperbarui beberapa aturan terkait perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), termasuk aturan bagi pelaku perjalanan. Kebijakan ini berlaku bagi perjalanan darat, laut, dan udara berdasarkan Surat Edaran Satgas COVID-19 No.22 Tahun 2021 yang mulai berlaku sejak 2 November hingga waktu yang ditentukan. Pembaruan kebijakan ini tentu menghadirkan kebingungan, mengapa aturan syarat perjalanan berubah-ubah?

“Kenapa aturan harus ada? Tentu untuk mencegah penularan kasus COVID-19, untuk itulah sejak pandemi, aturan yang terkait screening mulai dilakukan. Jika pada tahun lalu pemerintah mewajibkan test antibodi bagi pelaku perjalanan, sekarang menggunakan test PCR atau antigen, bahkan saat kasus COVID-19 sudah landai, aturan itu tetap ada. Menjadi permasalahan, saat tidak ada opsi atau pilihan bagi pelaku perjalanan yang ‘harus’ test PCR,” buka dr. Pandu Riono.
Kata ‘harus’ inilah yang menjadi polemik dan menimbulkan kontra di kalangan masyarakat. Mengingat biaya yang dikeluarkan untuk test PCR lebih mahal dibanding harga tiket sekali perjalanan. Untuk itulah aturan diubah mengingat lamanya perjalanan domestik di Indonesia tidak sampai memakan waktu satu hari, dan test PCR sebagai keharusan syarat perjalanan dirasa memberatkan masyarakat.
Senada yang dikatakan dr. Pandu Riono, Dicky Pelupessy menerangkan bahwa test PCR dan antigen sama-sama pemeriksaan yang berguna untuk mengendalikan penyebaran virus COVID-19 di masyarakat, “pemeriksaan ada dua jenis, screening menggunakan test antigen dan diagnosis menggunakan test PCR. Sebagai syarat perjalanan terbaru saat ini, test PCR untuk yang baru divaksinasi satu kali dan test antigen untuk yang sudah divaksin dua kali sudah dapat dikatakan memadai karena adanya pilihan yang dapat memotivasi masyarakat untuk segera menuntaskan vaksinasi.”
Polemik aturan perjalanan ini akibat kurang koordinasi yang baik antara departemen yang terkait. Padahal ketidak konsistenan aturan yang dikeluarkan pemerintah akan berakibat kurang baik di masyarakat. Masyarakat menjadi frustasi, tidak percaya, dan akhirnya abai akan semua prosedur kesehatan. Tentu hal ini tidak diinginkan. Untuk itulah dibutuhkan sikap rasional pemerintah dalam menetapkan aturan, dan tidak berdasarkan asumsi saja.
Sikap Masyarakat Menanggapi Aturan perjalanan
Belajar dari berubah-ubahnya aturan yang dikeluarkan pemerintah, Dicky Pelupessy menyarankan bagi masyarakat untuk terus terinformasi dan berusaha mencari informasi yang benar dan dapat diikuti dalam upaya menangani pandemi, “tentu ini tidak mudah mengingat informasi yang berubah-ubah, tetapi mau tidak mau pemerintah memang menjadi standarisasi suatu kebijakan.”
