Merdeka dari Diskriminasi Bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas

berita kbr

NININMENULIS.COM – Tahun ini 77 tahun sudah Indonesia merdeka, tetapi mengapa masih ada beberapa kalangan masyakat yang belum merasakan makna dari kemerdekaan, contohnya para OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) dan penyandang disabilitas. Meskipun telah dilindungi dan diatur dalam undang-undang, nyatanya masih banyak dari mereka yang menerima banyak diskriminasi. “Jika terlalu banyak menerima stigma negatif, para OYPMK dan disabilitas akan menarik diri dari lingkungan, tersingkir dari lingkungan,” kata Dr. Mimi Mariani Lusli, Direktur Mimi Institute.

Para OYPMK dan penyandang disabilitas lainnya, hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi. Meskipun telah dinyatakan sembuh dan telah meyelesaikan rangkaian pengobatan atau RFT (Release From Treatment) namun status atau predikat sebagai penyandang kusta akan tetap ada pada dirinya seumur hidup. Hal tersebut yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada OYPMK, hingga akhirnya tidak merasakan makna merdeka sesungguhnya.

Lalu bagaimana OYPMK memaknai kemerdekaan dan kebebasan dalam berkarya, kesejahteraan mental, dapat bersosialisasi di masyarakat tanpa adanya hambatan dan stigma baik dari diri sendiri maupun lingkungan yang melekat pada dirinya? Apa peran serta masyarakat dan orang-orang terdekat dalam upaya mendukung pemberdayaan OYPMK dan penyandang disabilitas?

Masih dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan untuk menjawab masalah tersebut pada Rabu (24/8) lalu Ruang Publik KBR yang bekerjasama dengan SUKA Project dari NLR Indonesia mengadakan talkshow dengan mengangkat tema ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’. Dalam talkshow selama satu jam itu menghadirkan dua narasumber, Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhede (OYPMK yang juga aktivis wanita dan difabel)

berita kbr
Flyer talkshow Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?

Talkshow ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’ dapat ditonton melalui live YouTube Berita KBR. Talkshow ini juga dapat didengarkan di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id. Talkshow yang dipandu oleh Rizal Wijaya ini berlangsung interaktif, di mana kita dapat bertanya langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalui telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp 0812 118 8181. Talkshow ini juga dapat disaksikan oleh para OYPMK dan penyandang disabilitas.

Faktor Pemicu Permasalahan Psikologis

Sebelum menjabarkan faktor-faktor apa yang menjadi pemicu permasalah psikologis bagi para OYPMK dan penyandang disabilitas, Dr. Mimi Mariani Lusli menjelaskan mengenai lembaga yang dikelolanya ini. “Mimi Institute merupakan sebuah lembaga yang hadir pada 2009. Sesuai dengan visi Mainstreaming Disability for Better Life, kami ingin membiasakan masyarakat untuk dapat berinteraksi dengan teman-teman disabilitas bagaimanapun caranya,” ungkap Dr. Mimi.

Untuk dapat mewujudkan interaksi yang baik antara penyandang disabilitas dengan masyarakat, Mimi Institute menyediakan berbagai kegiatan mulai dari konsultasi, edukasi untuk anak dan remaja berkebutuhan khusus, dan juga mengedukasi para masyarakat melalui seminar, publikasi buku yang berisikan pengetahuan apa itu disabilitas dan bagaimana berinteraksi dengan para disabilitas

Selama 13 tahun berdiri, sudah banyak para OYPMK dan para disabilitas datang berkonsultasi untuk mengetahui apa yang mejadi kebutuhan juga hak asasi yang dimilikinya. “Saat orang mengalami disabilitas atau OYPMK seringkali memunculkan stigma terhadap diri sendiri, seperti rasa sulit menjalani aktivitas hingga merasa tidak berguna lagi. Nah stigma terhadap diri sendiri inilah yang akan memunculkan gangguan psikis dari para disabilitas dan OYPMK. Belum lagi adanya stigma sosial, pengetahuan yang salah hingga membentuk ‘warisan-warisan’ negatif, menjadi penyebab para disabilitas menarik diri dan tersingkir dari lingkungan,” ujar Dr. Mimi.

Jika sudah demikian para penyandang disabilitas dan OYPMK bukan hanya mengalami gangguan kesehatan saja, tetapi juga mengalami gangguan kesejahteraan psikologis, gangguan hubungan sosial dan masalah dengan lingkungan sekitar, sehingga sulit untuk kembali ke masyarakat. Hal ini menandakan sulitnya kebebasan dan kemerdekaan bagi OYPMK dan penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak hidup, lingkungan inklusif hanya akan menjadi impian belaka.

Cara OYPMK dan Penyandang Disabilitas Menjadi Bagian dari Masyarakat

berita kbr
Live Streaming Talkshow Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK di YouTube Channel Berita KBR

Banyaknya faktor pemicu yang hadir dari diri sendiri hingga lingkungan yang membuat OYPMK dan penyandang disabilitas sulit untuk kembali ke masyarakat. Hal itu diakui Marsinah Dhede, seorang OYPMK yang juga aktivis wanita dan difabel. “Bersyukur saat saya mengalami kusta di usia 8 tahun, keluarga memberikan dukungan penuh dengan rangkulan yang hangat kepada saya yang menjalani pengobatan selama dua tahun. Permasalahan baru muncul saat saya mendapat stigma dari luar, dijauhi teman-teman karena takut tertular, hingga diusir dari kelas oleh guru,” cerita Dhede.

Dari situlah Dhedhe menyadari kurangnya pengetahuan yang well understanding tentang OYPMK dan disabilitas. “Padahal sudah banyak undang-undang yang melindungi para disabilitas. Misalnya di dunia kerja ada Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Tertera pada pasal 53 yang berbunyi; pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Undang-undang tersebut juga berlaku bagi perusahaan swasta,” jelas Dhede lagi. Jika peraturan ini diimplementasikan dengan tepat tentu para OYPMK dan penyandang disabilitas akan mendapatkan kemerdekaan di dunia kerja.

Untuk mencapai kemerdekaan itulah Dhede dan juga Dr. Mimi memberikan beberapa poin yang bila diintegrasikan dapat membuat OYPMK dan penyandang disabilitas merdeka untuk kembali ke masyarakat.

  • Adanya dukungan keluarga yang terus mendukung, merangkul, dan memberikan pelukan hangat.

    Dukungan keluarga menjadi support terbesar agar OYPMK dan penyandang disabilitas memiliki rasa percaya diri untuk kembali bersosialisasi. “Walaupun saat di luar, orang memandang aneh, bagaimana bangkit dan berproses menerima diri sendiri itu yang terpenting. Dan saran bagi penyandang disabilitas yang diejek, ajak bicara orang yang mengejek, dengan berbicara semua akan selesai,” saran Dr. Mimi.

  • Jika OYPMK dan penyandang disabilitas masih di bangku sekolah, berikan pendidikan yang layak seperti anak-anak pada umumnya.

    Dengan membedakan para disabilitas di sekolah khusus atau dikelompok-kelompokan ternyata justru menjadikan inklusi semakin terstigma. “Jika bisa bersekolah dan mendapatkan pendidikan juga pengajaran yang sama, mengapa mesti dibedakan? Dengan memberikan banyak pilihan dan peluang yang sama, kendala psikis yang dihadapi penyandang disabilitas tentu akan hilang dan bisa merdeka berkarya,” tutur Dhede

  • Melibatkan para OYPMK dan penyandang disabilitas dalam kegiatan di masyarakat.

    Jika pada proses bersosialisasi, OYPMK dan penyandang disabilitas berada di lingkungan yang terstigma, Dr. Mimi memberikan saran agar para penyandang disabilitas untuk berani mendekat. “Jika orang tidak mau dekat, dekati! Justru OYPMK dan penyandang disabilitas harus mendekat untuk memberikan pengertian dan edukasi. Jangan menjauh dari masyarakat, justru kita yang harus berani bicara,” imbuh Dr. Mimi.

Dari yang diuraikan Dr. Mimi Mariani Lusli dan Marsinah Dhedhe dalam talkshow ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’ dapat disimpulkan bahwa semua berawal dari diri sendiri, lalu ajak keluarga untuk paham, setelah itu barulah bisa keluar dari intervensi, keluar dari penjara yang membuat penyandang disabilitas tidak bisa merdeka dan ambil bagian dari masyarakat tanpa rasa khawatir.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply