NININMENULIS.COM – Masih jelas terbayang bagaimana hebatnya saat gempa meluluhlantakkan Cianjur, Jawa Barat dan sekitarnya di akhir 2022 lalu. Gempa berkekuatan 5,6 skala richter (SR) itu getarannya terasa hingga wilayah yang berjarak ratusan kilometer. Terhitung ratusan nyawa melayang, ribuan rumah rusak yang menyebabkan banyak anggota keluarga tidak memiliki tempat tinggal lagi. Semakin miris saat menyaksikan banyak korban tewas justru ditemukan tertimbun di antara puing-puing tembok yang lebur menyatu dengan bumi. Padahal tidak jauh dari lokasi bencana, sekitar 30 kilometer terdapat tempat tinggal masyarakat adat yang rumahnya dapat menahan gempa hingga berkekuatan 10 SR. Mengapa kita tidak belajar dari sana?
Stigma salah tentang modernitas yang identik dengan rumah berdinding tembok terbukti tidak cocok diterapkan di wilayah Indonesia, apalagi sebagai rumah tinggal. Lucunya, saat bencana datang, kita justru sibuk berkaca jauh ke negara lain yang memiliki wilayah dan adat berbeda. Padahal tanpa disadari, kita tinggal di negara yang lebih kaya akan adat budaya. Tanpa perlu mendiskreditkan bangsa sendiri, mengapa tidak kita coba menggali lagi adat yang telah ada dan berkembang ribuan tahun dari masyarakat adat setempat demi keberlangsungan hidup kita bersama?
Contents
Mitigasi Bencana Ala Masyarakat Adat di Kampung Naga
Tidak jauh dari Cianjur, tepatnya di Desa Neglasari, Tasikmalaya terdapat sebuah perkampungan yang masih mempertahankan adat yang dimiliki, ia adalah Kampung Naga. Kampung Naga didiami oleh masyarakat adat yang masih tergantung pada alam dan kuat memegang tradisi leluhur. Para masyarakat adat di Kampung Naga ini tinggal di rumah tradisional suku Sunda.
Rumah-rumah itu menggunakan batu tatapakan di bagian bawah, lalu di atasnya terdapat struktur kayu dan bambu dengan ijuk sebagai penutup atap. Struktur rumah demikian terbukti sangat ramah terhadap bencana gempa bumi karena strukturnya yang ringan. Posisi batu tatapakan membuat rumah menjadi lebih fleksibel dalam meredam getaran gempa sehingga tidak berisiko ambruk dan menimpa penghuni di dalamnya.
Selain adaptif terhadap gempa bumi, masyarakat adat Kampung Naga pun mengantisipasi bencana kebakaran dengan membuat pola anyaman berbeda pada area dapur. Jika di ruang lain menggunakan bilik kepang, pada area dapur menggunakan bilik sasag. Bilik sasag akan membuat api cepat terlihat dari luar, selain itu juga sebagai cara cepat mengeluarkan asap ketika proses memasak di dapur.
Morfologi wilayah yang berpotensi mudah terjadi bencana longsor pun disiasati oleh masyarakat adat setempat dengan ‘di batu entep’ menutupi lereng, berguna untuk menahan pergerakan tanah dan mengurangi erosi. Struktur bangunan seperti dimiliki masyarakat adat Kampung Naga inilah yang terbukti mampu memitigasi bencana yang ada di tanah Pasundan. Kemampuan mitigasi bencana tidak hanya dimiliki masyarakat adat yang tinggal di Kampung Naga, Tasikmalaya saja. Kita juga memiliki rumah-rumah adat di daerah lain yang mampu memitigasi gempa, misalnya Bale Tani, rumah adat suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Kemampuan mitigasi bencana, hanya satu dari sekian banyak kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keberlangsungan alam, selain turut berperan dalam pertumbuhan ekonomi, menjaga kedaulatan pangan, dan mengembangkan aspek sosial budaya. Pelestarian lingkungan dan perekonomian mandiri yang dilakukan oleh masyarakat adat dilakukan secara berkelanjutan melalui tata kelola alam berdasar pada kearifan lokal. Masing-masing wilayah adat memiliki caranya sendiri dalam menjaga lingkungan karena masyarakat adat setempat paling tahu apa yang terbaik untuk wilayahnya.
Krisis Hak Masyarakat Adat di Indonesia
Ada lebih 70 juta masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya tidak semua dari mereka memiliki hak dan kebebasan yang setara dengan semua orang. Masih banyak masyarakat adat mendapatkan diskriminasi terkait dengan asal-usul mereka.
Menurut Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya dalam suatu wilayah geografis tertentu, seperti hutan, laut, danau, dan sebagainya. Kelompok masyarakat ini memiliki sistem dan cara bersosial budaya yang khas sesuai dengan hukum adat dan kelembagaannya. Mereka berhak menguasai, mengelola, dan memanfaatkan wilayah adatnya.
Hak masyarakat adat ini sayangnya hingga kini belum terpenuhi. Masih banyak masyarakat adat yang tinggal dalam kemiskinan dikarenakan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya alam terkait regulasi dan kebijakan pengakuan kawasan wilayah yang tidak terformulasi dengan baik. Pembangunan yang berjalan selama ini kerap meninggalkan dan tidak melibatkan masyarakat adat. Perampasan wilayah mengatasnamakan pembangunan membuat mereka kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian, mata pencarian, dan terpenting keseimbangan alam yang selama ini mereka jaga.
Setidaknya hingga kini masih ada enam hak masyarakat adat yang belum terpenuhi, seperti hak atas wilayah adatnya, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak juga pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau tidak dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayahnya. Belum adanya pengakuan secara utuh atas keunikan serta kekhasan masyarakat adat secara kolektif sebagai komunitas inilah, AMAN merasa perlu adanya aturan hukum setingkat undang-undang untuk mengatur dan mengakui eksistensi masyarakat adat dalam satu kesatuan yang utuh.
Dalam perjalanannya, undang-undang yang dibutuhkan masyarakat adat ini masih jauh panggang dari api. Pembuatan RUU masyarakat adat masih dianggap memberikan bebas berat bagi APBN. Tidak hanya itu saja, kehadiran undang-undang ini dianggap belum mendesak dan akan menyebabkan konflik baru. Keputusan seperti inilah yang hingga kini membuat semakin banyak masyarakat adat yang terampas hak dan kebebasannya.
Perlunya Undang-undang Masyarakat Hukum Adat
Menurut AMAN, undang-undang cipta kerja Omnibus Law yang baru disahkan semakin memburuk dan bertentangan dengan komitmen untuk melindungi hak masyarakat adat. Di dalam undang-undang cipta kerja ini menyederhanakan proses pengakuan wilayah adat yang telah diperdebatkan tanpa pernah disahkan. Sungguh miris melihat lemahnya hukum yang melindungi dan mengatur hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri.
Padahal di sisi lain, sebagai manusia kita sangat membutuhkan kehadiran dan peran serta masyarakat adat dalam menciptakan keberlangsungan hidup yang berkelanjutan. Tanpa kehadiran masyarakat adat, siapa yang akan menjaga kelestarian dan keberlangsungan alam ini? Tanpa hadirnya undang-undang yang melindungi, sulit bagi masyarakat adat melakukan semua itu.
Untuk itu mari bersama-sama kita dukung masyarakat adat mendapatkan hak-nya dengan menyebarkan kesadaran bahwa ada hak masyarakat adat di sekitar kita yang perlu dipenuhi. Pemenuhan, pengakuan, dan perlindungan hak Masyarakat Adat dapat dicapai dengan cara:
-
Mengesahkan RUU masyarakat adat yang sesuai dengan aspirasi publik melalui prosedur sederhana dan memiliki legitimasi dalam upaya memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat atas wilayah adatnya serta hak asal-usul dan hak tradisional lainnya dengan menghormati prinsip hak asasi manusia.
-
Menghentikan semua bentuk perampasan hak, intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan, serta berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat juga para pembela masyarakat adat yang berjuang mempertahankan haknya.
-
Menyelesaikan dengan cepat semua konflik atau sengketa yang terjadi sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat adat setempat.