Bagaimana Agama Melihat Kusta? Kutukan ataukah …..

kusta dalam perspektif agama

NININMENULIS.COM – Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit tertua yang tercatat dalam sejarah. Penyakit ini sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi, bahkan keberadaannya banyak tercatat di dalam kitab-kitab suci agama. Ini membuktikan kusta sudah ada sejak dulu dan masih ditemukan hingga sekarang. “Kurangnya pengetahuan saat itu menjadi penyebab penyakit ini dikaitkan dengan kutukan, dosa, karma, dan ujian dari Tuhan,” kata dr. Muhammad Iqbal Syauqi, Dokter Umum RSI Aisyiyah Malang yang juga kontributor islamidotco.

Ratusan tahun yang lalu saat informasi dan teknologi pengobatan belum semaju saat ini, kusta kerap dikaitkan dengan kutukan, dosa, karma, atau ujian dari Tuhan. Ini disinyalir menjadi penyebab tindakan pengasingan pada penderita kusta. Sejarah kelam tentang kusta ini, pada akhirnya menjadikan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan penyandang disabilitas, hingga kini masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi.

Stigma yang kuat menyebabkan masih terdapat perlakuan diskriminasi yang kerap diterima OYPMK dan penyandang disabilitas.Mereka kerap mengalami kekerasan dan perlakuan yang salah dalam pendidikan, agama, hingga lingkungan sosial. Ini menjadikan OYPMK sulit kembali ke masyarakat dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya ketika telah sembuh akibat hilangnya rasa percaya diri. Seperti yang diungkapkan Pdt. Emeritus Corinus Leunufna, seorang pendeta yang divonis mengidap kusta pada 16 Juni 2016, “saat itu dunia rasanya berputar, saya lebih takut stigma yang akan diterima dari masyarakat daripada penyakit itu sendiri.”

Masih besarnya stigma mengatasnamakan agama di masyarakat mengenai OYPMK, menjadikan penyakit kusta tidak juga hengkang dari Indonesia. Sebenarnya bagaimana sih agama memandang penyakit kusta? Lalu bagaimana kita meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melihat OYPMK dan penyandang disabilitas?

kusta dalam perspektif agama
Flyer Kusta dalam Perspektif Agama di Ruang Publik KBR (Foto: Dok. Ruang Publik KBR)

Untuk membahas hal tersebut pada Senin (8/5) lalu, Ruang Publik KBR, Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA) yang bekerjasama dengan NLR Indonesia mengadakan talkshow dengan mengangkat tema ‘Kusta Dalam Perspektif Agama’. Dalam talkshow interaktif yang berlangsung selama satu jam itu menghadirkan dua narasumber, yang pertama dr.Muhammad Iqbal Syauqi Al Ghiffary (Dokter Umum RSI Aisyiyah Malang dan Kontributor islamdotco) dan Pdt. Emeritus Corinus Leunufna (Pendeta dan OYPMK), seorang penyandang disabilitas yang pernah terdampak bencana.

Talkshow ‘Kusta dalam Perspektif Agama’ ini dapat tonton melalui live YouTube Berita KBR. Talkshow ini juga dapat didengarkan di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan live streaming via website kbr.id. Talkshow yang dipandu oleh Rizal Wijaya ini berlangsung interaktif, di mana kita dapat bertanya langsung melalui kolom chat di YouTube Berita KBR atau melalui telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp 0812 118 8181. Talkshow ini juga dapat disaksikan oleh para OYPMK dan penyandang disabilitas.

Kusta di Mata Agama

Dalam agama Islam, kusta sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad, bahkan ada hadist dengan sanad yang shahih berbunyi, ‘Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari penyakit lepra, gila, kusta, dan penyakit-penyakit buruk lainnya’.

kusta dalam perspektif agama
Talkshow Kusta dalam Perspektif Agama di YouTube Berita KBR (Foto: Dok. Berita KBR)

“Ini membuktikan betapa berbahaya dan mengkhawatirkannya penyakit ini hingga Nabi memohon perlindungan dari Allah,” cerita dr. Iqbal.

Saking berbahayanya kusta karena dapat menyebabkan kecatatan, Nabi pernah bersabda, ‘Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas’ bagi yang berisiko tinggi tertular. Meskipun demikian Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan diskriminasi kepada penderita kusta. Nabi juga disebutkan pernah membaiat penderita kusta, bahkan makan bersama, seperti yang tertuang dalam hadist yang berbunyi, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW, memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukkannya bersama tangan beliau ke dalam piring. Kemudian beliau mengatakan: “Makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya”’.

Sedangkan dalam ajaran Kristen, penyakit kusta ini setidaknya disebut hingga 23 kali pada kitab perjanjian lama dan juga kitab perjanjian baru. “Saat itu informasi kesehatan belum seperti sekarang, sehingga penderita kusta sering dihindari dan ditinggalkan sendiri di dalam goa-goa atau kuburan-kuburan. Mereka diberi makan yang diikat pada tali, setelah itu tali tersebut dibuang agar tidak tersentuh dan menulari orang lain,” ungkap Pdt. Emeritus.

Untuk diketahui tidak pernah sekalipun Yesus mengajarkan dan melakukan mengucilkan penderita kusta. Wujud cinta kasih Yesus ini seperti yang tertuang dalam Injil Matius 8 Ayat 1-3 yang berbunyi, (1) Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, (2) Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, (3) Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu.

kusta dalam perspektif agama
Pentingnya menggali informasi mengenai penyakit kusta dari sumber-sumber yang benar (Foto: Dok. Freepic)

Dari yang dikisahkan kedua narasumber, terbukti tidak ada satu agama pun yang mengajarkan untuk mendiskriminasi OYPMK dan penyandang disabilitas. “Karena manusia diciptakan serupa dan lengkap dengan rasa kemanusiannya, lalu diletakan di dunia untuk bergaul bersama-sama. Sehingga tidak ada alasan untuk memberikan stigmatisasi kepada siapa pun, apalagi bila kekurangan yang dimiliki seseorang itu bukanlah pilihan,” tambah Pdt. Emeritus.

Sikap Manusia Beragama Terhadap OYPMK

Jika tidak ada agama manapun yang mengajarkan untuk mendiskriminasi penderita kusta, lalu mengapa masih banyak stigma sosial yang dialami OYPMK dan penyandang disabilitas? “Nah ini menjadi peran semua tokoh masyarakat termasuk ahli agama untuk membuka pengetahuan terkait penyakit kusta agar stigma yang beredar menghilang,” saran dr. Iqbal.

Mengingat stigma yang beredar selama ini merupakan buah dari ketidaktahuan kita, dr. Iqbal juga menyarankan kita untuk terus mengedukasi diri dengan informasi terbaru mengenai kusta dari sumber-sumber terpercaya. Dengan membuka diri terhadap informasi yang benar akan kusta, tidak hanya meminimalisir stigma yang beredar tetapi jumlah penderita kusta pun dapat dikurangi, “jika memiliki pengetahuan mengenai penyakit ini, saat melihat atau mengalami gejala kusta tentu akan lekas dibawa ke rumah sakit atau puskesmas untuk mendapatkan pengobatan dan menghindari risiko kecacatan.”

Di akhir talkshow ‘Kusta dalam Perspektif Agama’, dr. Iqbal juga menambahkan bahwa terdapat faktor utama menjadi penyebab orang terkena kusta. Pertama ada faktor kontak erat dan tidak dalam waktu singkat dengan penderita kusta, kedua faktor imunologi yaitu faktor kondisi tubuh seseorang saat terpapar bakteri, dan terakhir faktor lingkungan. “Untuk itu disarankan untuk selalu menjaga kebersihan, mengakses gizi yang baik untuk meningkatkan imunitas, ketika melihat gejala kusta cepat ke dokter, dan terakhir untuk menghindari stigma dengan menggali informasi dari sumber-sumber yang benar,” tutup dr. Iqbal.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply