Jika menengok kembali ke belakang, saat pandemi pemerintah menerapkan berbagai kebijakan salah satunya membatasi mobilitas untuk menjaga kesehatan masyarakat. Dengan cepat kebijakan mengatasi penularan COVID-19 justru berdampak terhadap sektor ekonomi. Menurut data IMF 2021, pada 2020 di tahun pertama pandemi ekonomi global menyusut hingga 3 persen dan angka kemiskinan meningkat.
Ketika dampak ekonomi akibat pandemi ini terus berlanjut, pemerintah merasa perlu memberikan dukungan untuk mengurangi krisis ekonomi, namun di sisi lain juga membatasi risiko keuangan dan makroekonomi jangka panjang yang dapat muncul dari tingkat utang yang lebih tinggi. Untuk mencapai pemulihan yang adil mencangkup masyarakat miskin, perempuan, dan usaha kecil untuk dapat pulih dari kehilangan pekerjaan, pendapatan, modal manusia, dan aset, diperlukan kebijakan yang tepat, cepat, dan menyeluruh melalui kebijakan sektor fiskal dan moneter.
Untuk itulah Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, yakni kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran. Namun banyak orang yang belum paham, apa itu kebijakan makroprudensial?
Contents
Memahami Makroprudensial Secara Ringkas
Agar mudah dipahami, yuk coba kita sederhanakan. Jika makroprudensial diibaratkan sebuah hutan dengan berbagai ekosistem di dalamnya yang perlu dijaga keberlanjutannya, maka pohon yang ada ada di dalamnya adalah mikroprudensial. Jadi kebijakan makroprudensial terfokus pada upaya menjaga sistem keuangan secara menyeluruh bukan hanya masing-masing lembaga keuangan. Sebaliknya, mikroprudensial justru terfokus pada masing-masing lembaga keuangan saja. Kebijakan makroprudensial ini memiliki tiga pilar utama, yaitu:
-
Intermediasi seimbang untuk menjaga pertumbuhan kredit tidak eksesif dan memadai untuk pertumbuhan ekonomi.
-
Menjaga ketahanan sistem keuangan agar secara struktural sistem keuangan kuat menghadapi shock.
-
Terakhir, bagaimana mendorong sistem keuangan yang inklusif
Dalam menjalankan kebijakan makroprudensial ini, Bank Indonesia tidak bekerja sendiri. Diperlukan koordinasi antara otoritas keuangan, mulai dari Kementerian Keuangan melalui kebijakan fiskal, Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Sebagai sistem keuangan, SSK ini diharapkan mampu menahan dari shock atau gejolak agar secara efektif berkontribusi terhadap pertumbuhan nasional.
Gejolak yang dimaksud di sini bukan hanya terkait ekonomi akibat dari pandemi saja. Termasuk semua gejolak yang berdampak ke inflasi termasuk gangguan bersifat fisik akibat perubahan iklim, seperti banjir, gelombang tinggi, kekeringan, dan lainnya, juga risiko transisi atau penundaan menuju net-zero emission. Biaya yang dikeluarkan akibat risiko transisi dari perubahan iklim dalam bentuk hilangnya kesempatan berinvestasi, terhambatnya ekspor, dan sebagainya dapat dikatakan cukup besar.
Nah alasan ini yang membuat kebijakan makroprudensial berperan penting. Kebijakan makroprudensial inilah yang nantinya mengerem sesuatu yang berlebihan untuk mengembalikan ke kondisi dari tertekan ke sustainable atau berkelanjutan. Salah satu kebijakan makroprudensial mengatasi gejolak akibat perubahan iklim dengan mendorong Indonesia menjadi lebih hijau melalui net-zero emission.
Kaitan Kebijakan Makroprudensial dengan Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau merupakan salah satu strategi keuangan terkait dengan krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan. Untuk mencapai transisi menuju ekonomi hijau, ada delapan sektor utama ekonomi yang harus menjadi pertimbangan agar tercapai net-zero emission, yaitu:
-
Kehutanan dengan mengurangi deforestasi, meningkatkan reboisasi, sertifikasi produk dari hutan, dan pembayaran untuk jasa lingkungan.
-
Pertanian dengan mengubah praktik pengelolaan pupuk, air, pestisida, dan nutrisi.
-
Sumber air dengan menghemat sumber air tanah dan air permukaan dengan penggunaan sumber daya yang efisien.
-
Penangkapan ikan yang menghasilkan peningkatan berkelanjutan dari kegiatan produksi dan pembiayaan untuk mengurangi penangkapan ikan yang berlebihan.
-
Ekowisata yang mengarah pada peningkatan partisipasi lokal dan kelompok rentan dalam rantai pariwisata.
-
Energi terbarukan dengan meningkatkan matriks energi dari sumber terbarukan.
-
Mengubah transportasi pribadi menjadi umum.
-
Memperkuat industri manufaktur dengan memperpanjang masa produk dan proses daur ulang untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan energi.