Review Buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi

kapitallis digital dan ekonomi berbagi

NININMENULIS.COM – Kapitalisme. Ada stigma negatif di pikiranku saat mendengar kata ini. Bukan tanpa alasan mengingat kapitalisme yang selama ini kita kenal sebagai sistem ekonomi di mana perdagangan, industri, dan alat produksi semua dikendalikan oleh kepemilikan. Sehingga jelas secara ekonomi keuntungan didominasi individu pemilik. Stigma yang dirasakan justru berbanding terbalik saat mendengar kata ekonomi berbagi. Berbeda dengan sistem kapitalisme, ekonomi berbagi menekankan kepada partisipasi banyak orang untuk menciptakan value, kemandirian, dan kesejahteraan bersama.

Bicara mengenai kapitalisme digital tentu bukan suatu sistem yang baru hadir setahun atau dua tahun belakangan. Kapitalisme sendiri berkaitan dengan ketidaksetaraan, kontrol, dan krisis yang terus berkembang sesuai dengan zamannya. Di jaman digital seperti sekarang disadari atau tanpa disadari, kapitalisme telah ‘merampas’ cara kita berkomunikasi sebagai manusia dengan manusia lainnya. Saat ini kita lebih akrab dengan avatar, konten, hingga teman virtual sehingga tidak sedikit yang lebih mengenal nama akun media sosial seseorang katimbang nama aslinya.

Interaksi dan partisipasi kita di dunia digital inilah yang diberdayakan dalam ekonomi berbagi. Memberikan akses ke penyedia fasilitas melalui platform digital menjadi cara dalam meningkatkan efisiensi sumber daya. Contoh ekonomi berbagi yang kita kenal saat ini seperti rental, peer-to-peer, on demand, crowdfunding, dan open source platform.

Lalu bagaimana praktek kapitalisme digital dan ekonomi berbagi saat ini? Nah, di dalam buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi terbitan PT Kanisius ini kita akan mendapatkan wawasan bagaimana sesungguhnya praktik keduanya di dunia digital saat ini.

Informasi Buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi

Buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi ini merupakan kumpulan sepuluh artikel yang disusun oleh mahasiswa dan alumni S2, S3 Program Studi Kajian Budaya dan media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (KBM SPs. UGM). Kesepuluh mahasiswa serta alumni S2 dan S3 yang terlibat ialah Irsanti Widuri Asih, D. Aditya Wicaksono, Rino Andreas, Vinsensiana Aprillia N. Jeharu, P. Gogor Bangsa, Puji Rianto, Elok Santi Jesica, Rizki Cesira Wardhana, Rana Akbar Fitriawan, Nuraulia Muhibar, dan Kukuh Wangsa Giaji.

Buku setebal 308 halaman ini berukuran 16 x 23 cm memiliki desain yang sangat menarik. Oleh sang desain sampul dan ilustrasi, Sekar Ayu Maharani, buku diberi warna dominasi kuning yang melambangkan rasa optimisme dan kegembiraan. Ilustrasi khas fenomena digital yang disajikan memberikan efek fun serta ‘melembutkan’ judul dan isinya yang sarat informasi.

kapitallis digital dan ekonomi berbagi
Sampul depan dan belakang dari buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi

Pada sisi belakang buku ada kutipan menarik dari sinopsis singkat yang disajikan,

………. Buku ini merupakan upaya untuk menawarkan kepada pembaca, beragam gagasan dan perspektif tentang kapitalisme digital dan ekonomi berbagi. Gagasan dan perspektif itu berupaya mengambil posisi kritis, yaitu kapitalisme digital dan ekonomi berbagi tidak disikapi secara apriori, tetapi juga tidak larut dalam euforia meraya-rayakannya …….

– Budiawan –

Dari sinopsis tersebut, kita dapat mengetahui bahwa buku ini berisikan sepuluh gagasan dan perspektif dari para penulis dalam melihat praktek kapitalisme digital dan ekonomi berbagi. Hasil akhirnya tergantung kepada kita untuk mempertahankan atau meningkatkan yang sudah ada saat ini.

Penasaran dengan isinya? Yuk kita bahas bersama-sama!

Sinopsis Ke-Sepuluh Artikel Pilihan

Sebelumnya, selain kepada sepuluh penulis yang terlibat dalam penyusunan buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi, acungan jempol juga harus diberikan kepada Budiawan selaku editor yang sudah membuat buku ini nyaman dibaca baik untuk kalangan umum maupun praktisi. Bukan hal mudah menginformasikan hal teknis dengan bahasa dan pemilihan diksi yang mudah dipahami. Meskipun masih ada beberapa istilah yang bagi pembaca umum harus mencari maknanya terlebih dahulu.

Pada bagian pengantar, Budiawan menjelaskan landasan teori mengenai kapitalisme digital dan ekonomi berbagi yang dikutip dari berbagai sumber. Landasan teori yang dijelaskan ini menjadi pegangan buat kita lebih memahami praktek kapitalisme digital dan ekonomi berbagi yang tersaji dari perspektif masing-masing penulis.

Pada bagian pertama, ada Irsanti Widuri Asih yang membahas tentang Gojek dalam tulisannya yang diberi judul Di Balik Kemilau Ekonomi Berbagi. Di sini Irsanti mengupas bagaimana dominasi platform terhadap para ‘mitra’ nya. Masih mengupas platform yang sama, pada artikel kedua yang diberi judul Gamifikasi dan Bentuk Baru Eksploitasi dalam Ekonomi Berbagi pada Sistem Kerja Gojek oleh sang penulis, D. Aditya Wicaksono. Di halaman ini kita akan mendapatkan gambaran bagaimana sebuah platform digital memiliki kuasa penuh dalam mengontrol pendapatan mitranya.

Bagi para gamers, artikel ketiga yang ditulis oleh Rino Andreas wajib ditelaah. Tulisan yang diberi judul Deteritorialisasi Hasrat Konsumen Virtual Pemain Mobile Legends ini menyimpulkan bagaimana industri permainan daring menjadi komoditas baru di ruang virtual.

Pada tulisan berikutnya yang berjudul Prosumsi Desainer Grafis Kontributor di Platform Microstock Freepik sebagai Digital Labour. Vinsensiana Aprillia N. Jeharu menguak bagaimana media digital mengubah sisi kehidupan seorang desainer grafis. Rupanya sisi kehidupan desainer grafis dalam konteks kapitalisme digital juga menggelitik P. Gogor Bangsa untuk menuliskan perspektifnya di tulisan berjudul Demokratisasi Kapital dalam Praktik Crowdsourcing Desain Grafis Online Desa Kaliabu, Kec. Salaman, Kab. Magelang Jawa Tengah.

Tulisan berikutnya ada Puji Rianto yang mendiskusikan Kreativitas YouTuber dalam Perspektif Budaya Konektivitas. Ia menjabarkan bahwa kreativitas yang terbentuk merefleksikan budaya partisipasi sekaligus bagian dalam kapitalisme global.

Jerat Cicilan Mahasiswa dalam Bingkai Ekonomi Berbagi menjadi artikel menarik berikutnya yang ditulis oleh Elok Santi Jesica dan Rizki Cesira Wardhana. Di sini keduanya melakukan pengamatan bagaimana praktik prosumsi pinjaman dalam platform cicildotcodotid yang ‘dipuja’ layaknya dermawan namun sesungguhnya dapat menjebak dan menjerat penggunanya.

Untuk tulisan ke-delapan, ada Rana Akbar Fitriawan yang menyuguhkan judul unik untuk artikelnya, Platypus Jurnalism. Sempat timbul pertanyaan, apa yang ingin disampaikan penulis lewat judul ini? Karena platypus yang aku ketahui merupakan hewan karnivora tetapi ia bertelur. Ternyata di artikelnya ini Rana ingin menunjukan bahwa dunia jurnalis yang seharusnya independen dan objektif namun justru ‘tunduk’ dengan algoritma mesin pencari.

Masih menyoroti para pekerja di media informasi, pada artikel selanjutnya ada Nuraulia Muhibar yang menyoroti profesi blogger dalam artikelnya yang diberi judul Resistensi dalam Karir Do It Yourself Komunitas Bloggercrony Indonesia. Ini sangat menarik mengingat masih jarang artikel penelitian yang menyoroti profesi blogger sebagai bagian dari dunia digital. Untuk membahas lebih lanjut tentang isi dari tulisan ke-sembilan yang ada di buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi, mari kita tengok dulu artikel terakhir yang ada di dalam buku ini.

Sebagai artikel pemungkas ada Kukuh Wangsa Giaji dengar artikelnya Menyiasati Kuasa Industri. Dalam tulisannya Kukuh membahas tentang praktek berbagi fail dalam fandom virtual K-Drama Family pada aplikasi Telegram. Ruang virtual yang tercipta menjadi sarana para penggemar memuaskan hasrat konsumsi tetapi juga menjadi ruang kolektif untuk menyiasati budaya industri populer.

Di Balik Layar Dapur Komunitas Blogger

kapitallis digital dan ekonomi berbagi
Artikel ke-9 di Buku Kapitalis Digital dan Ekonomi Berbagi

Sebagai seorang blogger, artikel ke-sembilan yang berjudul Resistensi dalam Karier Do It Yourself Komunitas Bloggercrony Indonesia yang ditulis oleh Nuraulia Muhibar atau yang akrab disapa Akbar ini sudah tentu menarik perhatianku, terutama pada halaman 233 paragraf kedua:

…..Mengamankan data anggota komunitas….. untuk melawan cara-cara pengambilan atau pencurian data pribadi para blogger yang biasanya dilakukan secara massal oleh brand, agensi, maupun kordinator blogger….

Isi kalimat ini seperti menggambarkan keresahan aku akhir-akhir ini. Sekadar curhat sedikit ketika mengikuti campaign obat tetes mata dari salah satu perkumpulan blogger. Tidak ada yang salah selama proses berlangsung, berjalan sesuai dengan brief hingga proses pembayaran pun berakhir lancar. Namun beberapa bulan setelah campaign berakhir, tim marketing obat tetes mata tersebut pun mulai aktif menelpon mulai dari survey hingga menawarkan produk terbaru.

Sekali dua kali menghubungi, mungkin terbilang wajar tapi setelah berlangsung terus menerus hingga beberapa tahun kemudian, jelas sangat mengganggu. Ini hanya satu dari sekian rentetan kejadian pengikut setelah campaign berakhir, efek dari ‘tidak amanah’ nya komunitas atau kordinator blogger dalam menjaga data pribadi. Sempat terpikir, “apakah data pribadi yang dimanfaatkan pihak ketiga itu berbanding lurus dengan fee yang diterima?”

Seperti yang dituliskan Akbar di halaman 219-221 bahwa profesi blogger berproduksi dalam posisi rentan ketika profesi blogger dari yang semula hobi menjadi aktivitas ekonomi. Itulah mengapa blogger butuh mengamankan dirinya dalam jejaring pengaman dengan bergabung dalam sebuah komunitas terpercaya. Di dalam sebuah komunitas, blogger dapat menambah jaring pertemanan sekaligus menambah asupan informasi, tetapi balik lagi ke kejadian di atas ternyata memilih komunitas blogger pun memiliki kerentanannya sendiri. Tidak semua komunitas memiliki resistensinya dan cenderung ‘loyo’.

Di sini sang penulis cerdas dalam mengambil objek tulisannya. Bagi aku dan blogger lainnya yang tergabung di Komunitas Bloggercrony Indonesia (BCC) tentu sudah merasakan langsung bagaimana komunitas blogger ini ‘memayungi’ anggotanya. Menjadi anggota BCC, kita tidak hanya berjejaring tetapi juga memperkaya skill dan mengasah potensi yang ada melalui program-program yang disediakan.

Seperti yang dijelaskan di dalam buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi ini, BCC memperkuat posisinya untuk tidak ‘tunduk’ dalam arena content marketing. Selain mengembangkan dan mengamankan data seluruh anggota komunitas, BCC juga membuat aturan dan batasan terhadap alur kerja sama untuk melawan sistem pitching yang kerap dijadikan ajang pencurian data blogger. Dalam beberapa perjanjian kerjasama pun, BCC menjaga kapital yang didapat blogger. Hal ini dilakukan BCC karena belum adanya standar harga yang mengatur nilai pekerjaan seorang blogger.

Apa yang sudah dijalankan BCC selama ini tentu sangat membantu para blogger dalam meniti karirnya. Namun sekali lagi karena belum adanya asosiasi atau lembaga yang mengatur nilai kerja seorang blogger, tidak semua komunitas atau kordinator blogger menerapkan cara dan standar yang sama dengan BCC. Seperti yang diungkapkan Urwan, salah satu blogger di halaman 235 buku ini, “…… aku juga bingung kenapa harus beda-beda …….. ada yang ngambil fee kecil ada yang ngambil fee besar, kenapa ga semua komunitas itu sama saja.”

Setelah membaca tulisan ini dan semakin mengetahui bagaimana BCC bekerja di balik layar, timbul pertanyaan, apakah kedepannya akan dapat mempertahankan resistensinya ataukah ‘mengendurkan’ standar? Mengingat rentannya profesi blogger mulai dari belum adanya lembaga yang mengatur hingga tuntutan ekonomi membuat tidak sedikit blogger ‘menjual dirinya’ dan tunduk dengan kuasa content marketing. Sebagai blogger tentu kita membutuhkan BCC-BCC lainnya agar profesi blogger ini dapat terus berkembang dan tidak tergerus kuasa para agen content marketing.

Selain wawasan kita semakin bertambah, buku Kapitalisme Digital dan Ekonomi Berbagi pun berguna untuk kita yang rentan kembali diingatkan untuk lebih bijaksana dalam berkegiatan di dunia digital.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply