Menguak Wajah Lama Tangerang Lewat Langkah Kaki

pasar lama tangerang
Klenteng Boen Tek Bio Foto: Kompasiana)

NININMENULIS.COM – Langit pagi itu menyimpan rahasia. Mendung menggantung di atas Stasiun Tangerang seperti penutup bab yang belum selesai. Ada semacam desakan halus dari waktu yang meminta untuk ditelusuri kembali, seperti bisikan sejarah yang tak mau dilupakan. Di tengah suasana seperti itu, aku turun dari KRL. Deru kereta belum sepenuhnya sirna ketika langkahku menyatu dengan riuhnya para pedagang dan penumpang yang keluar masuk stasiun. Tapi aku tak datang hanya untuk menanti kereta berikutnya. Hari itu, aku bergabung dengan teman-teman Kompasianer dalam sebuah penelusuran yang lebih dalam, menyusuri sejarah tersembunyi Pasar Lama Tangerang dalam balutan ‘Ketemu Walking Tour The Hidden History of Pasar Lama’.

Warisan Rasa di Pasar Lama

pasar lama tangerang
Prasasti Stasiun Tangerang (Foto: Pribadi)

Stasiun Tangerang bukan hanya tempat pemberhentian. Ia adalah pengantar masa lalu, berdiri sejak tahun 1889 sebagai saksi bisu pergerakan ekonomi dan manusia. Di lantainya yang masih menyisakan tegel tua dan atap tinggi bergaya kolonial, aku membayangkan langkah-langkah para petani, saudagar, bahkan penjajah, yang mungkin berjalan dengan maksud berbeda, tapi menyatu dalam satu ruang yang kini bernama ‘masa lalu’.

Perjalanan ini dipandu oleh Elsa Novia Sena, perempuan muda penuh energi yang membawakan sejarah seperti sedang bercerita kisah sahabat lama. Tak ada kesan membosankan. Elsa, dengan suara yang cerah dan berkaos merah yang tak pernah lelah, menjadi jembatan antara masa kini dan cerita yang terkubur debu waktu.

pasar lama tangerang
Tempat pembuatan Kecap Teng Giok Seng atau Cap Istana (Foto: Pribadi)

Bersama sekelompok peserta lainnya, kami memulai perjalanan seperti detektif sejarah. Tapi tidak ada kaca pembesar di tangan. Hanya rasa ingin tahu, dan telinga yang terbuka lebar mendengar. Pemberhentian pertama membawa kami ke sebuah tempat yang berbau manis, secara harfiah, pabrik kecap. Tapi ini bukan kecap biasa. Ini kecap yang menyimpan umur satu abad lebih, dimulai dari kecap Benteng SH, yang berdiri sejak 1920, hingga Teng Giok Seng yang sudah eksis bahkan sejak 1882.

Aku tercenung. Siapa sangka, kecap yang kerap kita anggap cuma pemanis mi goreng itu punya silsilah sejarah? Kecap ini adalah warisan budaya, bukan sekadar bumbu dapur. Di balik tiap botolnya, ada tangan-tangan yang mewarisi resep dari generasi ke generasi, dari zaman Hindia Belanda hingga zaman reels TikTok.

Ketika Sejarah Bersuara

pasar lama tangerang
Masjid Jami Kalipasir (Foto: Pribadi)

Setelah puas mendalami warisan rasa yang tertinggal, kami bergerak ke Masjid Jami Kalipasir. Masjid tua ini berdiri tenang sejak 1576, seakan menjadi pelindung dari hiruk-pikuk modernitas di sekelilingnya. Di sinilah aku menyadari, Tangerang bukan hanya soal akulturasi, ia adalah perwujudan nyata dari harmoni. Di dekat masjid ini, komunitas Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan, tak saling menyerobot ruang, justru saling mengisi. Uniknya, menara masjid ini menyerupai pagoda. Sebuah simbol bahwa arsitektur pun tahu caranya saling menghormati.

Tak jauh dari masjid, kami menemukan Toapekong Air, sebuah altar terbuka di tepi Sungai Cisadane. Tempat ini terasa seperti potongan dari dunia lain. Hening, khusyuk, dan menyimpan aroma dupa serta makna spiritual yang dalam. Di sinilah masyarakat Tionghoa Benteng melepaskan hewan ke alam bebas dalam ritual Fang Shen, sebagai simbol dari karma baik. Aku melihat seorang bapak keturunan Tionghoa melepaskan ikan ke sungai. Tak ada kata-kata. Hanya air yang menerima dengan tenang, seperti menerima luka dan harapan dalam satu waktu.

pasar lama tangerang
Toapekong Air (Foto: Pribadi)

Perayaan Peh Cun yang jatuh pada akhir Mei di tahun ini, menjadi salah satu momen paling meriah di tempat ini. Dewa air disapa, perahu naga berlomba, dan Cisadane menjadi panggung budaya yang mengikat semua orang dalam rasa bangga akan asal-usulnya.

Tapi mungkin bagian yang paling membuatku tersentuh adalah ketika Elsa mulai membahas istilah ‘Cina Benteng’. Ia bukan nama yang muncul di akta lahir, tapi panggilan yang lahir dari sejarah sosial. Konon, istilah ini berasal dari komunitas Tionghoa yang bermukim di sekitar benteng Makassar, kawasan strategis yang dulunya dijadikan benteng pertahanan oleh Belanda. Kini, sebutan itu berubah makna, menjadi simbol identitas dan keberanian untuk tetap bertahan di tanah yang mereka cintai, di tengah perubahan zaman dan angin politik yang tak selalu bersahabat.

Dalam diam aku merenung. Kadang identitas itu bukan apa yang kita pilih, tapi apa yang kita perjuangkan. Dan Cina Benteng adalah bukti hidup bagaimana identitas bisa menjadi jembatan, bukan tembok.

pasar lama tangerang
Berada Roemboer Tangga Ronggeng Foto: Kompasiana)

Perjalanan kami kemudian menyentuh satu titik yang tak terduga, yakni Roemboer Tangga Ronggeng. Nama ini saja sudah seperti judul puisi. Roemboer adalah rumah tempat burung walet membuat sarang. Sedangkan Tangga Ronggeng, adalah tangga di tepi sungai tempat penari ronggeng dulu menari, menyambut tamu atau sekadar merayakan hidup. Sekarang tangga itu sudah tiada, hanya menyisakan kisah yang melayang-layang di antara suara burung dan gemericik air sungai. Tapi justru di situlah daya magisnya, sesuatu yang telah hilang, tapi tetap hidup dalam cerita.

Tidak jauh dari sana, tepat di depannya berdiri rumah penulis legendaris, Oey Kim Tiang, atau yang dikenal dengan OKT. Ia menerjemahkan lebih dari 100 buku silat dari Hokkien ke Melayu Pasar. Bayangkan betapa luar biasanya peran beliau dalam menyebarkan sastra. Di tangannya, legenda-legenda silat menjelma jadi bahan bacaan masyarakat luas, menjangkau warung kopi hingga warung rokok. Oey Kim Tiang tak hanya menulis, ia membentuk imajinasi kolektif. Ia tak sekadar menceritakan, ia mempersatukan.

pasar lama tangerang
Klenteng Boen Tek Bio (Foto: Pribadi)

Masih dalam pandangan mata, berdirilah Boen Tek Bio. Megah, anggun, dan masih aktif digunakan sejak 1684. Di sinilah aroma dupa bercampur dengan kisah panjang umat yang mencari terang lewat doa dan harapan. Klenteng ini tak pernah sepi, baik dari sembahyang maupun dari cerita. ‘Boen’ berarti intelektual, ‘Tek’ berarti kebajikan, dan ‘Bio’ adalah tempat ibadah. Aku tersenyum kecil. Rupanya tempat ini mengajarkan bahwa menjadi bijak tak cukup dengan doa saja, tapi juga dengan pikiran yang terbuka.

Di tengah aroma dupa dan lantunan musik gambang kromong dalam peringatan Waisak, aku merasa berada dalam titik keseimbangan. Di sini, semua rasa bercampur. Religi, budaya, sejarah, dan kemanusiaan saling menggenggam, tak saling mendominasi. Seperti itulah Tangerang di mataku hari itu, membingkai perbedaan dalam harmoni yang tidak dibuat-buat.

Pada akhirnya, sampailah kami di Museum Benteng Heritage. Bangunan dua lantai yang dipenuhi artefak, foto, dan dokumen yang membuat waktu seolah berhenti. Di sinilah semua cerita yang kami dengar hari itu seakan menemukan rumahnya. Museum ini bukan sekadar tempat menyimpan benda lama. Ia adalah tempat bertanya, tempat merenung, dan tempat mengenali bahwa sejarah tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali.

Kami menutup perjalanan di Kedai Lampion, di seberang klenteng yang masih ramai dengan pengunjung. Obrolan mengalir seperti sungai Cisadane yang setia mengalirkan hidup. Tak ada yang terlalu serius. Tapi di balik tawa dan sruputan es teh, ada rasa syukur yang diam-diam tumbuh. Bahwa hari itu, kami bukan hanya berjalan menyusuri gang-gang sempit dan bangunan tua, tapi juga berjalan menyusuri diri sendiri. Menyadari bahwa sering kali kita lupa bahwa kota ini, tempat kita tumbuh dan melewati hari-hari biasa, ternyata menyimpan hal luar biasa yang hanya bisa ditemukan jika kita mau berjalan pelan dan mendengarkan.

Aku pulang membawa lebih dari sekadar foto dan video untuk diunggah ke Instagram. Aku pulang dengan cerita. Pulang dengan kesadaran baru, bahwa akar itu tak hanya tumbuh di bawah tanah. Ia tumbuh dalam cerita, dalam langkah, dan dalam keberanian untuk menyusuri kembali jalan yang telah lama dilupakan.

Dan Tangerang, hari itu, telah menjadi lebih dari sekadar titik di peta. Ia menjadi cerita yang hidup di langkah kaki.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply