
NININMENULIS.COM – Sabtu sore lalu, tepatnya 14 Juni 2025, udara Jakarta terasa sejuk sehabis hujan sejak siang hari. Sebuah pertanda baik untuk menyambut hari yang dijanjikan penuh warna, makna, dan secuil harapan akan bumi yang lebih lestari. Tujuan aku hari itu menuju ke Galeri Emiria Soenassa, salah satu ruang seni yang terletidak di jantung kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tempat ini menjadi rumah bagi sebuah perhelatan yang namanya saja sudah terasa puitis dan progresif, Ruang Setara dan Lestari.
Festival ini bukan sekadar ajang berkumpul dan berpesta budaya. Ia menjadi panggung untuk menyuarakan semangat keberlanjutan, kesetaraan, dan restorasi, tema yang akhir-akhir ini tidak lagi bisa dipinggirkan dari percakapan publik. Sejak pertama kali melangkah ke area festival, aku langsung disambut suasana yang hangat dan ramah. Karya-karya seni kontemporer tertata rapi menyambut mulai pintu masuk, dipenuhi wajah-wajah antusias dari berbagai usia dan latar belakang. Ada remaja, pelajar, seniman, aktivis lingkungan, ibu-ibu komunitas, hingga pengunjung yang sekadar ingin tahu namun pulang membawa pengetahuan baru.
Festival ini terasa seperti perayaan lintas disiplin, seni, lingkungan, pangan, dan budaya yang saling terikat satu dengan lainnya tanpa sekat. Ada diskusi publik, bazar produk ramah lingkungan, lokakarya interaktif, hingga nobar Mendadak Sinema yang menampilkan film pendek Endo Betenun dari Kalimatan Barat. Mengapa Kalimantan Barat? Karena pada 2026, Festival Lestari atau Festival Berkelanjutan akan diadakan di sini.

Untuk diketahui Kalimantan Barat memiliki tutupan hutan yang luas, meliputi sekitar 5,55 juta hektar. Ini termasuk area hutan rawa gambut yang signifikan, yang merupakan penyerap karbon vital dan pusat keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, Kalimantan Barat menekankan membangunan berbasis masyarakat, yang memadukan kearifan lokal dan praktik berkelanjutan.
Saat ini Kalimantan Barat sedang memajukan transformasi ekonomi berbasis wilayah yang berakar pada prinsip-prinsip ekonomi berbasis alam. Dipimpin oleh kabupaten Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu, sebagai anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), provinsi ini membentuk koridor ekonomi dan ekologi yang membentang dari hutan hulu jantung Kabupaten Bomeo hingga masyarakat hilir di sepanjang DAS Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia.
Kalimantan Barat juga telah membuat komitmen jelas untuk mengembangkan ekonomi yang berakar pada sumber daya lokal, berkelanjutan, dan berbasis hutan dan produk hutan non kayu lainnya untuk menciptakan rantai nilai yang menghormati masyarakat lokal
Dari semua rangkaian acara, salah satu yang paling menarik perhatian aku yakni Workshop Kolase Protect & Restore Local Food, sebuah sesi yang terasa unik karena menggabungkan ekspresi seni dengan pesan keberlanjutan.
Dan begitulah, aku beserta 15 peserta lainnya dari #EcoBloggerSquad mengambil bagian.
Contents
Dari Festival ke Workshop, Jejak Langkah Menuju Perubahan

Workshop kolase ini bukan sembarang sesi kerajinan tangan. Ini merupakan kolaborasi antara Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Laboratorium Inovasi Bestari, Eco Blogger Squad, dan Pancaran Sinema. Sebuah sinergi yang menyatukan kekuatan pemerintah daerah, inisiatif lokal, komunitas digital, dan media kreatif demi satu tujuan, menghidupkan kembali semangat mencintai pangan lokal, meningkatkan mata pecarian masyarakat setempat, sekaligus merawat bumi melalui ekspresi seni.
Sebelum kami memegang lem, gunting, daun-daunan kering, dan secarik kertas majalah bekas, kami diajak untuk menyelami terlebih dahulu latar belakang dari acara ini, siapa saja yang terlibat, dan kenapa acara ini penting untuk diikuti. Untuk menjelaskan ini dan memandu workshop hingga akhir dihadirkan tiga narasumber penting, mereka ialah Ristika Putri Istanti (Sekretariat LTKL), Esty Yuniar (Semesta Sintang Lestari), dan Dian Tamara (Pancaran Sinema).
Dipandu oleh MC Fransisca Soraya dari Hiip Indonesia, sebagai pembuka Workshop Kolase Protect & Restore Local Food, ada Ristika Putri Istanti yang menjelaskan mengenai Lingkar Temu Kabupaten Lestari atau LTKL.
LTKL bukanlah organisasi yang asing di telinga para pegiat lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Didirikan di beberapa kabupaten di Indonesia, LTKL adalah jaringan kolaboratif yang memfasilitasi kerja sama antar daerah untuk menciptidakan pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan.
Di tengah tantangan deforestasi, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan alam, LTKL hadir untuk mempromosikan ekonomi restoratif, sebuah pendekatan pembangunan yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memulihkan lingkungan dan memperkuat peran masyarakat lokal.
“Ekonomi restoratif haruslah memiliki beberapa prinsip utama seperti, adanya ambang batas, inklusivitas dengan melibatkan masyarakat setempat dan komuntas lokal, mampu melindungi dan merestorasi hutan, dan memiliki nilai atambah dari pengembangan model ekonomi,” ujar Ristika.
Salah satu contoh konkrit dari semangat ini terlihat dari apa yang mereka lakukan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, melalui inisiatif Semesta Sintang Lestari. Di sini, semangat keberlanjutan diimplementasikan ke dalam aksi nyata melalui pengelolaan pangan lokal, pelestarian hutan, pemberdayaan komunitas, hingga pendirian Laboratorium Inovasi Bestari, sebuah ruang belajar, bereksperimen, dan mencipta untuk mengeksplorasi potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah.

Laboratorium Inovasi Bestari inilah yang kemudian menjadi tulang punggung dari banyak kegiatan yang mengangkat pangan lokal, termasuk di antaranya mendokumentasikan kisah-kisah perempuan penjaga kuliner khas, menggali kembali resep-resep tradisional yang nyaris punah, hingga mendorong anak muda desa untuk terlibat aktif dalam rantai pangan yang lestari.
“Salah satu hasil riset dan inovasi Semesta Sintang Lestari, yaitu Bischo. Bischo adalah biskuit yang ditujukan untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak yang rawan stunting. Berbasis tepung ikan gabus yang sejak lama dikenal masyarakat sebagai sumber albumin alami juga kaya vitamin juga omega 3, 6, dan 9,” ungkap Esty.
Produksi Bischo tidak hanya memperhatikan output gizi, tetapi juga bagaimana sumber daya lokal dikelola secara berkelanjutan. Ikan-ikan yang digunakan berasal dari perairan lokal yang tetap dijaga kelestariannya. Proses penangkapan, pengolahan, hingga distribusi melibatkan komunitas lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat desa.
Lebih dari itu, keberadaan Bischo juga menjadi simbol bahwa inovasi tidak harus datang dari kota-kota besar atau laboratorium berbiaya tinggi. Di daerah yang mungkin dulu tidak banyak dilirik, seperti Sintang, lahir gagasan-gagasan brilian yang bisa menjadi solusi konkret untuk masalah nyata.
Kolase dan Lagu, Dua Bahasa untuk Menyuarakan Bumi

Kembali ke workshop, setelah sesi pengantar yang sarat informasi dan inspirasi, kami pun dipersilakan untuk memilih perlengkapan kolase. Di atas meja, bertebaran bahan-bahan yang sepintas tampak sepele, daun kering berbagai bentuk, beberapa majalah lama, kardus bekas, buku bekas, gunting, dan lem serta crayon warna-warni. Ruangan yang sebelumnya sunyi mendadak menjadi penuh warna, aroma daun kering, dan cerita.
Di tangan yang tepat, bahan-bahan ‘tidak terpakai’ ini berubah menjadi simbol. Kolase, seperti yang dijelaskan oleh Dian Tamara, pemandu workshop dari Pancaran Sinema, bukan hanya sekadar tempelan estetika. Ia adalah media healing yang lembut, medium reflektif yang memungkinkan siapa saja, tidak peduli seberapa mahir menggambar atau menulis, untuk menyuarakan isi pikirannya melalui karya.
Tema kolase hari itu adalah Protect & Restore Local Food. Kami para peserta diminta membuat kolase yang berangkat dari potongan lirik lagu tentang pangan lokal, alam, atau keberlanjutan. Berikut liriknya:
Di balik hutan yang sunyi
Ada pangan yang tersembunyi
Masyarakat adat menjaga
Benih-benih yang kaya maknaKita kembali ke rasa
Jejak yang hampir terlupa
Agar tidak hilang ditelan masa
Kenali lagi bumi sendiriWarisan lintas zaman 2x
Aku sendiri memilih potongan lirik “Di balik hutan yang sunyi….” Bagi aku, lirik itu menggambarkan hutan yang memberikan banyak manfaat di balik kesunyiannya. Aku menempelkannya di atas kertas HVS berwarna hijau, lalu mengelilinginya dengan tempelan daun kering, ranting kering, potongan gambar hutan Kalimantan Barat, dan penggalan lirik yang ditulis menggunakan crayon.

Beberapa peserta lain tidak kalah kreatif. Seorang teman memotong setiap huruf dari majalah bekas untuk dirangkai menjadi menggalan lirik yang dipilih. Gambar pangan lokal khas Kalimantan Barat juga melengkapi kolasenya. Ada juga yang merangkai lirik dari potongan brosur hingga menyerupai sampul sebuah buku.
Aku menyadari sesuatu, ini lebih dari sekadar aktivitas seni. Ini adalah proses pemulihan ingatan kolektif. Tentang alam Kalimantan Barat dan kekayaan pangan lokalnya yang terlupakan. Tentang hubungan manusia dan alam yang dulu sangat intim. Tentang bagaimana kita bisa menyampaikan itu semua melalui seni yang sangat personal.
“Melalui kolase kita dapat melatih motorik halus yang selama ini hanya dilakukan anak-anak. Ini juga menjadi media healing yang efektif jika dilakukan secara rutin. Dengan ber-kolase kami ingin orang-orang tahu bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kegiatan kecil seperti ini,” tutur Tamara.
Dan memang terasa begitu. Setelah sesi selesai, ada rasa penasaran dan ingin menciptakan kolase yang lebih baik lagi, mengingat keterbatasan waktu yang membuat karya aku tampak, ….. ya begitu deh! Beratus-ratus ide keluar dan ingin aku tuangkan ke dalam kolase, tentu saja sembari menjaga lingkungan sekitar rumah dengan mengumpulkan beberapa daun kering yang akan terlihat artistik jika dijadikan kolase.
Menghidupkan Kembali yang Terlupakan

Apa yang membuat workshop ini begitu membekas bagi aku adalah kemampuannya menyentuh dua hal sekaligus yaitu kreativitas dan kesadaran. Di tengah dunia yang bergerak cepat dan serba digital, kita diajak untuk melambat, menyentuh bahan-bahan alami, dan memikirkan kembali apa arti ‘makan’, ‘alam’, dan ‘rumah’ bagi kita.
Pangan lokal bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas, budaya, dan harapan. Dalam satu potong daun, tersimpan cerita nenek moyang, keberlanjutan tanah, dan masa depan anak cucu. Dalam selembar kolase dari bahan bekas, tersembunyi semangat untuk memperbaiki dunia lewat satu tempelan demi tempelan.
Melalui kolaborasi seperti ini, upaya-upaya pelestarian menjadi lebih dari sekadar jargon. Ia menjadi nyata, hadir di tengah masyarakat, dan menyenangkan untuk diikuti. Workshop kolase ini dengan segala kesederhanaannya, menjadi jembatan antara seni dan aksi. Dan bagi aku, jembatan itu telah berhasil mengantar pada pemahaman baru, bahwa mencintai bumi bisa dimulai dari hal sekecil lem dan gunting.

Good job! Artikelnya informatif banget. Pasti rame nih kalau dibahas di Kanal, tempat nongkrongnya anak muda yang doyan diskusi sehat.
Wah jadi pengen ikutan bikin kolase juga… Kalau mau ikutan workshop nya gimana ya caranya?
Ekomoni restoratif saya Faris bawahi karena tujuannya menjangkau semua lapisan masyarakat adalah kegiatan yang positif.
Jujur aku itu pengen nyoba banget lho biskuit ikan gabusnya. ahhaha.. bentuknya unyu bulet-bulet gitu. Kabupaten lestari ini benar-benar jadi asosiasi yang gerakannya keren banget buat terus menjaga bumi tetap sehat. Salut poll. 😀
Seneng banget lihat ada kegiatan ini. Sebetulnya alam kita memberikan banyak banget manfaat. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia memperlakukan alam dengan bijak. Menjadi sahabat bagi alam.
Sebuah kegiatan yang inspiratif dan kreatif. Sangat meanrik, Kak. BTW itu yang tampak dalam foto, tampak posisi samping berbaju biru hitam, apakah Kak Bayu Fitri?
Pengen nyobain Bischo deh. Bisa dibeli di mana ya? Makanan lokal dari daerah mana pun (selama itu halal dan nggak ekstrem), selalu menarik bagiku.
Kegiatan yang seruu … kita bisa sejenak melambat, menuangkan kreativitas dan segala rasa di tengah era yang serba cepat.
Ingin juga bisa membuat kolase dari barang-barang “yang sudah tidak terpakai lagi”, ada kepuasan tersendiri setelah melihat hasilnya, yaa …
Kegiatannya seru sekaliii!
Di acara itu, kita diajak melambat untuk berkreasi dan menumpahkan segala cerita di era yang serba cepat. Ingin juga bisa bikin kolase dari barang-barang “yang sudah tidak digunakan lagi”
Berkreasi dan menyatu dengan alam.
keren lah ya ada kegiatan seperti ini dan bila di jogja pasti bisa ikut untuk belajar lebih dalam tentang bagaimana menjaga alam
Kolase dari sampah jadi karya seni yang ngingetin pentingnya pangan lokal, ide yang fresh dan anti-mainstream. Berasa banget pesennya sampe ke hati!
Seru banget nih acaranya. Jadi tertarik ikutan bikin kolase nih, memanfaatkan bahan-bahan yang ada
Ini langkah keren, Teh. Memang antara konservasi, restorasi, kehidupan komunitas lokal, dan mata pencaharian itu berkelindan. Pangan lokal itu akan bertahan dengan adanya konservasi dan restorasi namun di sisi ekonomi komunitas lokal yang digempur oleh pasar juga mesti diperhatikan. Festival ini semoga menjadi salah satu jawabannya 🙂