
NININMENULIS.COM – Pindah domisili. Kedengarannya sepele, ya? Tinggal datang ke kelurahan, isi formulir, tanda tangan, beres. Tapi jangan salah, di balik dua kata itu, tersimpan petualangan administratif yang bisa bikin kepala cenat-cenut, terutama kalau kamu pindah dari Jakarta ke daerah yang sistemnya belum sefleksibel ibu kota. Aku pun sempat jadi warga ‘tak resmi’ cukup lama. Bukan karena tidak cinta tanah baru, tetapi lebih karena membayangkan betapa ribetnya birokrasi, apalagi ditambah rasa malas yang terawat selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya, sebuah fakta mengejutkan membangunkanku dari tidur panjang sebagai warga bayangan.
Awalnya semua baik-baik saja. Hidup tenang di Kabupaten Bogor sejak 2018, walaupun KTP masih setia menunjukkan alamat Jakarta. Aku pikir, ya sudahlah. Toh, selama ini tidak pernah ada urusan administrasi yang mendesak. Kalaupun ada, biasanya cuma diminta fotokopi KTP dan KK, selesai. Jadi, rasa malas mengurus perpindahan domisili pun makin menumpuk, apalagi membayangkan birokrasi ala Indonesia yang konon bisa bikin rambut lurus jadi ikal.
Tapi, dunia tidak seindah itu. Tiba-tiba namaku sudah tidak tercatat di database Dukcapil DKI Jakarta. KTP masih ada, fisik masih utuh, tapi di sistem? Nihil. Ini bagaikan punya mantan yang bilang, ‘Kita putus, tapi kamu belum sadar.’ Dan dari sinilah semuanya bermula.
Contents
Ternyata Gampang, Tapi Hanya di Jakarta

Setelah dilecut oleh kabar bahwa namaku sudah tidak tercatat lagi di sistem Dukcapil DKI Jakarta dan sempat berpikir, “Wah, jangan-jangan aku sudah tidak dianggap warga negara?” aku akhirnya memutuskan untuk bergerak. Tentu setelah proses panjang berdamai dengan rasa malas dan kecemasan akan antrian yang tidak berujung.
Satu hal yang membuatku mulai yakin adalah saran dari seorang teman yang tampak begitu entengnya bilang “Udah, ke kelurahan aja. Bilang mau pindah berkas. Sekarang mah udah gampang, nggak usah bawa surat RT/RW atau ke Dukcapil segala.”
Dalam hatiku langsung muncul kombinasi antara kagum dan skeptis. Aku sempat mengernyit, “Serius? Nggak perlu cap tiga jari di atas batu prasasti segala?”
Dengan semangat antara penasaran dan pasrah, aku akhirnya datang ke kelurahan tempat alamat KTP lamaku terdaftar. Kupikir aku akan dioper dari meja ke meja, disuruh balik lagi karena salah bawa dokumen, atau disuruh menunggu karena petugas lagi rapat dadakan. Ternyata… tidak.
Begitu masuk, aku hanya diminta mengisi formulir F-1.03. Namanya terdengar seperti formulir pajak luar negeri atau syarat masuk Hogwarts, tetapi aslinya cuma data pribadi standar. Selanjutnya aku menyerahkan fotokopi KK dan KTP semua anggota keluarga. Tidak sampai lima belas menit, seorang petugas ramah memanggil namaku sambil menyerahkan selembar surat penting yakni Surat Keterangan Pindah WNI (SKPWNI).
Seketika aku merasa seperti lulus ujian negara. Aku bahkan sempat melihat ke belakang, memastikan tidak ada jebakan tambahan, tidak ada syarat tersembunyi, atau tidak ada misi sampingan.
Dan yang lebih membuatku kagum, semua proses ini tidak memerlukan aku untuk hadir ke Dukcapil kota. Prosedur di Jakarta benar-benar sudah satu pintu. Tidak perlu surat pengantar RT, tidak perlu ke RW, tidak perlu juga ketemu Pak RT yang kadang sibuk ronda atau main badminton sore-sore. Semuanya tersentralisasi di kelurahan, dan itu membuat segalanya jauh lebih efisien dan manusiawi.
Saat itu aku sempat berpikir, “Kalau di Jakarta bisa sesimpel ini, kenapa aku harus pindah ke Bogor, ya?” Tapi ya sudahlah, nasi sudah jadi lontong.
Dengan semangat membara dan SKPWNI di tangan, aku pulang sambil senyum-senyum. Rasa bangga muncul, seakan-akan aku berhasil membuka babak baru dalam hidup. Dalam hati aku berbisik, “Oke, kalau langkah pertama semudah ini, langkah berikutnya pasti lebih ringan.”
Oh, betapa polosnya aku saat itu.
Dari Santuy ke Hutan Administrasi

Bermodal SKPWNI dari Jakarta, aku melangkah ringan ke kantor desa tempatku berdomisili di Kabupaten Bogor. Tapi begitu masuk, suasana langsung beda. Bukan berarti petugasnya tidak ramah, tapi sistemnya masih klasik. Ibarat naik MRT lalu disuruh ganti ke ojek pangkalan.
Formulir pindah datang dibagikan. Harus ditandatangani RT setempat dan kepala keluarga di atas materai Rp10.000. Untung aku masih tahu rumah sendiri dan kepala keluarganya juga Ibu aku sendiri. Tapi tetap saja, sensasi harus mencari RT yang seringnya ‘nggak ada di tempat’, ‘salam tempel’ setelah tanda tangan, dan beli materai di warung yang anehnya stoknya selalu habis, menjadi tantangan tersendiri.
Kembali ke kantor desa, dokumen lengkap aku serahkan. Kata petugas, “Ini nanti teruskan ke kecamatan ya. Kalau KTP, ya dicek aja tiap bulan ke sini. Biasanya paling cepat sih enam bulan.” Aku hanya bisa tertawa kecil. Enam bulan itu kayak nungguin jodoh yang belum pasti, tapi masih diharapkan.
Dengan semangat sisa-sisa, aku menuju kantor kecamatan. Agak nyasar dikit, wajar. Namanya juga penduduk baru. Setelah sampai, ditanya ini itu, lalu diberi kalimat pamungkas, “Langsung ke Disdukcapil Cibinong aja, ya. Tapi daftar dulu di aplikasi Siloka.” Aku mengangguk, padahal dalam hati ingin menangis. Kukira prosesnya akan selesai di sini. Ternyata ini seperti game yang makin tinggi levelnya, makin sulit pula rintangannya.
Siloka, Antara Nama Aplikasi dan Misi Rahasia

Malam harinya, aku mencari Siloka di Google. Muncul alamat siloka.dukcapilbogorkab.id. Keren juga nama domainnya, pikirku. Tapi begitu diklik, malah diarahkan ke alamat baru yang sayangnya tidak aku cek kembali link-nya. Setelah berhasil daftar dengan mengisi nomor KK, kelurahan, kecamatan, dan data lainnya, tinggal submit dan menunggu verifikasi. Tapi jangan senang dulu. Verifikasi dilakukan hanya di jam kerja antara pukul 08.00 sampai 15.00. Jadi kalau kamu berharap seperti e-commerce yang 24 jam aktif, kamu akan patah hati.
Setelah diverifikasi, aku langsung pilih jadwal hari dan jam datang ke Dukcapil. Tapi di sinilah blunder terjadi, aku tidak menscreenshot QR code. Kupikir nanti tinggal buka lagi aplikasinya. Ternyata dugaanku terlalu polos.
Hari pengurusan tiba. Aku berangkat pagi, sesuai saran para reviewer Google Maps yang menyarankan agar datang sebelum ayam bangun. Sesampainya di Dukcapil Cibinong, aku mencoba membuka situs Siloka dari pencarian Google. Dan… error. Berkali-kali.
Kupikir karena belum jam kerja. Tapi bahkan saat jam sudah menunjukkan pukul 08.30, tetap saja situsnya tidak bisa dibuka. Aku tidak sendiri. Di sana ada banyak orang senasib. Aku bahkan sempat ngobrol dengan pasangan lansia yang wajahnya lelah tapi tetap penuh harapan. Mereka bilang sudah dapat nomor antrian 78 di customer service. Aku sendiri tidak sanggup membayangkan harus nunggu segitu banyak orang hanya untuk masuk ke aplikasi.
Untunglah aku iseng mendekati seorang mbak-mbak yang sedang dibantu oleh petugas. Mbaknya bilang, “Langsung ketik aja https://siloka.bogorkab.go.id/ di browser. Jangan klik dari Google!”
Eureka! Begitu kuketik langsung masuk ke aplikasi, QR code muncul. Setelah di scan, nomor antrian aman. Tapi karena masih harus menunggu sekitar dua jam, aku balik lagi ke tempat pasangan lansia tadi dan menawarkan bantuan. Ternyata, bukan hanya mereka yang kesulitan. Dalam 15 menit duduk di tangga, aku membantu lebih dari lima orang membuka Siloka.
Bayangkan, kalau saja ada satu orang petugas yang tugasnya hanya membantu mengakses aplikasi ini, berapa banyak waktu dan tenaga semua orang bisa terselamatkan. Tapi ya, ini Indonesia. Kadang solusi sederhana harus ditemukan melalui jalur rumit.
Saat nomor antrianku muncul di layar TV, aku langsung melangkah cepat ke meja yang ditunjuk. Dokumen diserahkan, dicek, lalu petugas mulai mencetak KK baru. Tidak membutuhkan proses yang lama, asalkan semua dokumen yang diperlukan terpenuhi. Yang mengejutkan? KTP asli ditarik. Dan katanya, tidak perlu menunggu enam bulan seperti yang dikatakan kantor desa. Hanya butuh sekitar 15 menit, KTP elektronik baru langsung dicetak ulang. Aku sempat bengong. Jadi sebenarnya bisa cepat, asal langsung ke titik yang tepat. Oiya semua proses pindah datang di Dukcapil ini semuanya free ya alias gratis tanpa biaya sepeser pun.
Pindah Domisili Bukan Pindah Nyali
