500 Bibit Lidah Buaya, SATU Tekad Seorang Alan Efendhi

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Sekarang banyak dijumpai tanaman lidah buaya di Dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul Yogyakarta (Foto: Dok. Alan Efendhi)

NININMENULIS.COM – Gunungkidul, Yogyakarta, selama puluhan tahun identik dengan cerita paceklik, lahan karst yang gersang, dan retakan tanah yang menganga setiap kemarau. Bagi sebagian besar orang, daerah ini hanyalah hamparan panas dan keterbatasan. Namun, di balik teriknya matahari dan kerasnya tanah batu kapur itu, lahir sebuah kisah yang mengubah pandangan banyak orang. Cerita tentang 500 bibit lidah buaya yang menumbuhkan lebih dari sekadar tanaman, ia menumbuhkan harapan.

Dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, menjadi panggung kisah ini. Di sepanjang jalan desa, pot-pot berisi lidah buaya berjajar rapi di teras rumah, pekarangan, bahkan di tepi jalan. Tanaman yang dulu hanya dianggap penghias halaman kini tumbuh subur di lahan-lahan yang sebelumnya dibiarkan kosong.

“Dulu halaman ini cuma rumput liar. Sekarang, tiap tiga minggu panen,” ujar Alan Efendhi, sang penggagas, sambil menepuk pelepah lidah buaya setinggi lutut. Di tangannya, tanaman gurun itu bukan hanya hijau di tengah panas karst, tetapi sumber kehidupan baru.

Alan Efendhi, pria berusia 36 tahun yang lahir dan besar di sebuah dusun kecil di Gunungkidul. Daerah yang selama ini identik dengan perbukitan kapur dan musim kemarau yang panjang. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat ladang-ladang di sekitar rumah menguning sebelum waktunya panen, bahkan tidak digarap sama sekali karena tanahnya keras dan tandus. Seperti banyak pemuda di desanya lainnya, selepas SMA ia memilih merantau ke Jakarta demi mencari pekerjaan yang lebih pasti.

Selama hampir 15 tahun, ia bekerja di sebuah penjahit eksekutif di pusat kota. Gajinya cukup untuk hidup layak di ibu kota, bahkan sesekali ia bisa mengirim uang ke kampung. Hidupnya stabil, tanpa gejolak berarti. Tetapi, di balik semua kenyamanan itu, ada rasa hampa yang tidak bisa diusir.

Setiap kali cuti dan pulang kampung, Alan melihat dua hal yang selalu menusuk hati, rambut kedua orang tuanya yang makin memutih dan tanah kosong di sekitar rumah yang tetap tidak terurus. “Rasanya nggak tega. Saya pengin ada di dekat mereka, bisa merawat kalau sakit,” kenangnya, matanya sedikit berkaca-kaca.

Keinginan untuk pulang semakin menguat setelah ibunya sempat jatuh sakit. Alan mulai menghitung ulang prioritas hidupnya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah uang dan kenyamanan di Jakarta sepadan dengan waktu yang hilang bersama keluarga?”

Pertanyaan itu menggiringnya pada pencarian peluang usaha di desa. Ia tidak mau pulang hanya untuk menganggur atau sekadar mengandalkan tabungan. Ia mulai mengamati jenis tanaman yang mampu bertahan di tanah kering, yang tidak membutuhkan perawatan rumit, tapi punya nilai jual tinggi. Dan pencariannya membawanya pada satu nama, lidah buaya.

Awalnya, Alan hanya tahu lidah buaya dipakai untuk menyuburkan rambut atau merawat kulit. Namin setelah membaca lebih banyak, ia baru sadar kalau tanaman ini punya potensi yang jauh lebih luas. Dari bahan baku kosmetik dan farmasi, olahan makanan dan minuman, hingga pupuk organik, lidah buaya merupakan tanaman serba guna yang permintaannya stabil bahkan cenderung meningkat.

Yang membuatnya semakin tertarik, lidah buaya bisa tumbuh di tanah kering seperti di kampungnya. Perawatannya sederhana, tidak perlu pupuk mahal, dan bisa dipanen berkali-kali dari satu batang induk. “Semakin saya baca, semakin yakin kalau ini cocok untuk diusahakan di sini,” ujarnya.

Keputusan itu bukan tanpa rasa takut. Alan sadar, meninggalkan pekerjaan tetap di Jakarta untuk bertaruh pada usaha yang belum pernah ia jalani sebelumnya adalah langkah besar bahkan bisa dibilang nekat. Tapi bagi Alan, itu adalah satu-satunya cara untuk membalik nasib. Nasib keluarganya, nasib tanah kelahirannya, dan mungkin juga nasib para tetangga yang selama ini pasrah pada keadaan.

500 Bibit yang Mengubah SATU Desa

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Berawal dari 500 bibit lidah buaya jenis sinensis barker, varietas yang terkenal berdaun tebal, berdaging banyak, dan cocok diolah menjadi berbagai produk (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Di tahun 2014 menjadi titik awal langkah besar seorang Alan Efendhi. Dengan tabungan yang dikumpulkan dari gaji bertahun-tahun di Jakarta, ia memutuskan membeli 500 bibit lidah buaya jenis sinensis barker, varietas yang terkenal berdaun tebal, berdaging banyak, dan cocok diolah menjadi berbagai produk.

Bagi sebagian orang, 500 bibit itu mungkin terlihat kecil. Namun bagi Alan, jumlah itu adalah taruhan seluruh keyakinan dan masa depannya. Ia tahu lahan di Gunungkidul sebagian besar berupa tanah karst, yang keras, berbatu, dan cenderung miskin unsur hara. Menanam di kondisi seperti itu bukan sekadar menaruh bibit di tanah lalu menunggu tumbuh. Ia harus menggali lubang tanam sedalam setengah meter, mengisi dengan campuran tanah gembur dan pupuk organik, lalu menutupnya dengan hati-hati agar akar bibit bisa berkembang.

Air pun menjadi tantangan. Sumur di kampungnya terletak jauh dari lahan, sehingga setiap kali menyiram, Alan harus mengangkut air dalam jerigen besar menggunakan sepeda motor atau pikulan bambu. Penyiraman ia lakukan malam hari, bukan siang, demi mengurangi penguapan di udara kering Gunungkidul. “Kalau siang, airnya hilang duluan sebelum sempat meresap,” kenangnya sambil tersenyum.

Namun, semua kerja keras itu belum seberapa dibanding menghadapi tatapan ragu warga sekitar. Di desa, lidah buaya masih dianggap tanaman hias atau sekadar obat tradisional untuk rambut. “Bertani lidah buaya? Siapa yang mau beli? Memangnya bisa hidup di sini?” komentar-komentar seperti itu sering ia dengar. Beberapa bahkan terang-terangan mengatakan ia membuang-buang waktu dan uang.

Alan memilih tidak terlalu memikirkan cibiran itu. Ia percaya, setiap ide besar pasti terdengar aneh di awal. Sambil merawat tanamannya, ia juga mulai mempelajari potensi pasarnya. Ia membaca artikel, mencari referensi resep, hingga menonton video tutorial tentang olahan lidah buaya dari berbagai negara.

Setahun kemudian, perjuangannya membuahkan hasil. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur, pelepahnya besar-besar dan siap panen. Namun Alan tidak ingin berhenti di titik itu. Menjual pelepah mentah ke tengkulak memang lebih mudah, tapi harganya rendah dan pasarnya sempit. Ia ingin memberi nilai tambah.

Di dapur rumahnya, Alan bereksperimen membuat nata de aloe vera, minuman mirip nata de coco, tapi teksturnya lebih renyah dan rasanya unik. Prosesnya tidak singkat. Ia harus mencari cara menghilangkan lendir, rasa pahit, dan efek gatal dari lidah buaya. Berbulan-bulan ia mencoba berbagai teknik mulai dari merendam dengan air kapur sirih, menambahkan perasan jeruk nipis, hingga merebus dengan gula kelapa.

Berkali-kali hasilnya gagal, kadang terlalu pahit, kadang teksturnya lembek, kadang warnanya kusam. Namun setiap kegagalan justru membuatnya semakin penasaran. “Saya selalu bilang ke diri sendiri, kalau orang lain bisa bikin, saya juga bisa. Tinggal cari caranya,” ujarnya.

Setelah menemukan formula yang pas, Alan mulai memasarkan produknya secara sederhana. Ia menitipkan botol nata de aloe vera di kantin sekolah, warung dekat rumah, dan pedagang sayur keliling. Awalnya orang-orang enggan mencoba. Ada yang ragu karena belum pernah mendengar olahan seperti itu, ada pula yang takut rasanya aneh.

Tapi perlahan situasi berubah. Sekali orang mencicipi, mereka biasanya kembali membeli. Tekstur kenyal dan rasa segar dari Rasane Vera, nama yang akhirnya dipilih untuk mereknya, ternyata mampu memikat lidah banyak orang. Kabar tentang minuman lidah buaya itu menyebar dari mulut ke mulut. Dari hanya beberapa botol, kini ia mulai memproduksi dalam jumlah lusinan setiap minggu. “Dulu saya cuma punya 500 bibit, sekarang rasanya punya seribu semangat,” katanya sambil tertawa kecil.

Mengajak Warga, Membangun Gerakan

aloe liquid
Tidak berhenti di budidaya, Alan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Mount Vera Agrotech, beranggotakan 25 perempuan sebagai inti gerakan (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Selama empat tahun pertama, perjalanan Alan dan lidah buaya masih terjal. Ia mengelola semua produksi dari Jakarta, mengandalkan sang ibu di desa untuk mengurus kebun. Setiap pekan, ia menelepon, menanyakan kabar tanaman, cuaca, dan hasil panen. Kadang, jika ada libur panjang, ia pulang hanya untuk memeriksa langsung perkembangan ladang dan membawa pulang beberapa botol minuman Rasane Vera untuk dipasarkan di ibu kota.

Namun, permintaan yang terus merangkak naik membuatnya sadar kalau mengelola dari jauh tidak akan cukup. Banyak peluang hilang hanya karena ia tidak berada di tempat. Maka pada 2018, ia memutuskan untuk kembali pulang ke Gunungkidul, kali ini tanpa rencana kembali ke Jakarta. “Kalau mau serius, saya harus di sini. Lidah buaya ini butuh tangan yang fokus, bukan cuma waktu sisa,” ujarnya.

Begitu menetap, Alan tidak mau berjalan sendirian. Ia mulai mengetuk pintu tetangga, mengajak mereka menanam lidah buaya. Caranya cukup unik, ia membagikan bibit secara gratis. “Nggak usah bayar, yang penting dirawat. Nanti hasilnya saya beli semua,” begitu janjinya. Kepercayaan ini menjadi modal sosial yang sangat berharga.

Awalnya, hanya segelintir warga yang mau mencoba. Kebanyakan masih terbayang-bayang kegagalan bertani tanaman lain yang sulit dipasarkan. Ada yang bilang, “Kalau nanti nggak laku, gimana?” atau “Saya kan nggak ngerti cara nanamnya.” Alan tidak memaksa. Ia cukup memberi contoh, memperlihatkan tanaman miliknya yang subur dan hasil penjualannya yang nyata.

Perlahan, bibit yang ia bagikan mulai tumbuh di pekarangan tetangga, di tepi kebun, bahkan di lahan-lahan tidur yang sebelumnya hanya ditumbuhi semak. Ketika mereka melihat hasil panen pertama, pelepah hijau segar yang langsung dibayar tunai oleh Alan, barulah rasa percaya mulai tumbuh. Dari beberapa orang, jumlah petani lidah buaya di desanya meningkat pesat. Kini, lebih dari 125 warga ikut menanam, sebagian besar memanfaatkan lahan yang sebelumnya tidak produktif.

Tidak berhenti di budidaya, Alan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Mount Vera Agrotech, beranggotakan 25 perempuan sebagai inti gerakan. Para ibu ini dilatih mengolah lidah buaya menjadi berbagai produk bernilai tambah seperti keripik kulit lidah buaya yang gurih, dodol dengan rasa manis kenyal, hingga permen jelly yang disukai anak-anak. Pelatihan dilakukan di balai desa atau rumah produksi sederhana milik Alan, lengkap dengan sesi uji rasa dan pengemasan.

Jadwal panen diatur rapi, setiap tiga minggu sekali. Satu pelepah lidah buaya rata-rata berbobot sekitar satu kilogram. Harga jualnya berkisar Rp2.000–Rp3.000 per kilogram, tergantung kualitas. Petani yang memiliki minimal 50 pot bisa mengumpulkan sekitar 50 kilogram pelepah setiap panen. Itu berarti, ada tambahan pendapatan yang cukup berarti, terutama saat musim paceklik ketika hasil pertanian lain menurun.

Lebih dari sekadar bisnis, gerakan ini mengubah wajah desa. Lahan kering yang dulu dibiarkan kosong kini berderet pot lidah buaya hijau. Anak-anak ikut membantu orang tua memanen, sementara para ibu mengatur jadwal produksi olahan. Di sela-sela aktivitas, mereka saling bertukar resep baru, seperti puding lidah buaya atau sirup herbal.

Bagi Alan, yang terpenting bukan hanya uang yang berputar tetapi rasa percaya diri warga yang tumbuh. “Mereka sekarang punya penghasilan tambahan. Tetapi yang lebih penting, mereka merasa bisa. Bisa mengolah, bisa menjual, dan bisa maju bersama,” ujarnya.

Menembus Pasar dan Inovasi Produk

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Alan Efendhi saat penerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 kategori Kewirausahaan (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Baru pada tahun 2019 menjadi tonggak penting dalam perjalanan Alan. Setelah melalui proses panjang dan tidak jarang melelahkan, akhirnya ia berhasil mengantongi berbagai legalitas penting untuk produknya, seperti PIRT sebagai izin edar pangan, sertifikat halal untuk meyakinkan konsumen muslim, dan izin BPOM yang menegaskan standar keamanan serta kualitas produk. Dengan bekal ini, pintu pasar terbuka lebih lebar.

Mulanya, pemasaran masih terbatas di wilayah Yogyakarta melalui toko oleh-oleh dan beberapa reseller. Namun perlahan, produk lidah buaya olahannya mulai dari nata de aloe vera, minuman segar, hingga olahan kering mulai merambah ke Jawa Tengah, lalu menembus Jakarta.

Permintaan kian meningkat, dan Alan tidak puas hanya dengan produk yang sudah ada. Ia terus berinovasi. Salah satu terobosan yang cukup mendapat sorotan adalah Aloe Liquid dengan gula stevia yang aman untuk penderita diabetes. Ide ini lahir dari masukan konsumen yang menginginkan minuman sehat tanpa risiko lonjakan gula darah.

Lalu pada 2021 menjadi titik bersejarah lainnya. Alan Efendhi meraih SATU Indonesia Awards kategori provinsi. Sebuah pengakuan atas upaya dan dampak nyata yang ia berikan kepada masyarakat Gunungkidul. Bagi Alan, penghargaan ini bukan sekadar piala atau sertifikat yang dipajang di lemari. Lebih dari itu, ia menganggapnya sebagai bukti bahwa kerja keras dan ketekunan, meski dimulai dari skala kecil, bisa mendapat perhatian di tingkat nasional.

Dua tahun kemudian, di 2023, langkahnya semakin kokoh ketika ia dinobatkan sebagai penerima SATU Indonesia Awards kategori Wirausaha Nasional. Penghargaan ini membawanya bertemu dengan jejaring pengusaha muda, mentor bisnis, dan berbagai pihak yang membuka peluang kolaborasi baru. Tidak sedikit investor, mitra distribusi, dan pelaku industri yang tertarik menjajaki kerja sama setelah mengetahui kiprahnya melalui platform ini.

Alan sendiri mengakui bahwa SATU Indonesia Awards tidak hanya memberinya publikasi, tetapi juga legitimasi di mata banyak pihak. Ketika ia menyebutkan status sebagai penerima penghargaan ini, pintu perbankan lebih mudah terbuka, kerja sama dengan instansi lebih cepat terjalin, dan rasa percaya masyarakat terhadap produk lidah buayanya semakin tinggi. Ia bahkan mendapatkan undangan untuk berbicara di berbagai seminar kewirausahaan, membagikan pengalamannya dari nol hingga menggerakkan ratusan warga.

“Penghargaan ini membuat saya sadar bahwa yang saya lakukan ternyata punya dampak lebih besar dari yang saya bayangkan. Bukan hanya soal bisnis, tetapi soal mengubah pola pikir orang bahwa di desa pun kita bisa maju,” ujar Alan dengan mata berbinar.

Dengan jejaring dan dukungan yang lebih luas, Alan kini tengah merencanakan perluasan produksi serta pengembangan tur edukasi wisata lidah buaya di Gunungkidul. Sebuah konsep di mana pengunjung bisa belajar menanam, mengolah, sekaligus mencicipi langsung produk dari kebun. Aloe Land, sebuah agrowisata edukasi yang memadukan keindahan alam, pengetahuan, dan pemberdayaan warga yang berawal dari 500 bibit dan tekad yang tidak goyah, lalu dipertegas dengan kesempatan yang datang lewat SATU Indonesia Awards.

Aloe Land, Wisata Edukasi dari Tanah Gersang

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Menjadi lokasi pemagangan mahasiswa dari IPB, Polbangtan YOMA, dan UNY (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Aloe Land bukan sekadar tempat untuk melihat tanaman lidah buaya. Pengunjung bisa menyentuh, mencium, bahkan merasakan prosesnya dari awal hingga akhir. Setiap sudut dirancang agar siapa pun baik anak-anak sekolah, mahasiswa, petani, hingga pebisnis bisa belajar. Mulai dari cara memilih bibit unggul, teknik menanam di tanah kering, strategi pengairan hemat, sampai langkah-langkah pengolahan menjadi produk bernilai tinggi.

Hampir setiap akhir pekan, lokasi ini dipenuhi rombongan. Anak-anak TK terlihat antusias memegang cangkul mungil, mencoba menanam bibit sambil mendengarkan cerita tentang manfaat lidah buaya. Pelajar SMA mencatat serius saat dijelaskan tentang kandungan nutrisi dan peluang pasarnya. Komunitas tani pun sering datang untuk belajar teknik budidaya yang cocok di lahan minim air.

Pengalaman paling disukai pengunjung adalah memetik pelepah langsung dari kebun. Dengan arahan pemandu yang sebagian besar adalah warga desa yang kini memiliki profesi baru, pengunjung diajak memotong pelepah, membersihkan lendir, lalu mengolahnya menjadi minuman segar atau camilan. Aktivitas ini bukan hanya menghibur, tetapi juga memberi pemahaman konkret bahwa setiap produk yang mereka nikmati punya proses panjang di baliknya.

Keberadaan Aloe Land membawa dampak ganda. Dari sisi ekonomi, desa yang dulu sunyi kini ramai oleh aktivitas wisata. Warung-warung kecil tumbuh di sekitar lokasi, menjual makanan khas, kerajinan, dan produk olahan lidah buaya. Homestay sederhana pun mulai bermunculan untuk menampung tamu dari luar kota. Dari sisi sosial, warga yang sebelumnya mengandalkan pertanian musiman kini memiliki sumber pendapatan baru sepanjang tahun.

Bagi Alan, Aloe Land adalah bentuk nyata dari mimpi masa mudanya yakni menghidupkan tanah kelahiran, memanfaatkan potensi lokal, dan membuat perubahan yang bisa dirasakan banyak orang. “Saya ingin setiap orang yang datang ke sini pulang dengan dua hal, pengetahuan baru dan rasa percaya bahwa dari lahan sesulit apa pun, sesuatu yang bermanfaat bisa tumbuh,” ujarnya sambil tersenyum.

Dari Desa ke Pasar Internasional

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Produk olahan berbahan lidah buaya yang diproduksi oleh Alan Efendhi (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Kerja keras Alan dan warga desa akhirnya membuahkan hasil yang jauh melampaui perkiraan awal. Berawal dari penjualan sederhana di pasar lokal, produk olahan lidah buaya mereka kini mulai merambah mancanegara. Tidak tanggung-tanggung, beberapa varian sudah berhasil menembus pasar Singapura dan Mesir, dua negara dengan standar kualitas produk pangan yang terkenal ketat.

Lebih membanggakan lagi, pintu ekspor untuk pure aloe vera slice atau potongan lidah buaya murni siap olah mulai terbuka ke Brunei Darussalam dan kembali ke Mesir untuk varian berbeda. Permintaan itu datang bukan karena kebetulan, melainkan hasil dari reputasi yang dibangun perlahan melalui kualitas, konsistensi, dan kemampuan memenuhi permintaan pasar.

Namun, peluang besar selalu datang bersama tantangan. Untuk bisa mengirim produk secara rutin dan dalam jumlah besar ke luar negeri, Alan harus memenuhi persyaratan ketat, termasuk sertifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Sertifikasi ini menjadi bukti bahwa produk yang dihasilkan memenuhi standar keamanan pangan internasional, mulai dari proses penanaman, pengolahan, hingga pengemasan.

“Sertifikasi ini bukan sekadar formalitas. Kalau ingin main di pasar global, kita harus buktikan bahwa produk kita aman, higienis, dan konsisten kualitasnya,” ujar Alan sambil menunjukkan ruang produksi yang kini mulai direnovasi sesuai standar internasional. Ia mengaku prosesnya tidak mudah, karena melibatkan audit ketat, pelatihan tenaga kerja, dan penyesuaian prosedur kerja.

Meski begitu, semangatnya tidak surut sedikit pun. Baginya, keberhasilan menembus pasar ekspor bukan hanya soal keuntungan pribadi, tetapi tentang membuka peluang yang lebih besar untuk desanya. Ia membayangkan, jika ekspor ini berjalan lancar, semakin banyak warga yang bisa terlibat mulai dari penanaman, pengolahan, hingga distribusi. “Kalau berhasil, ini bukan cuma keuntungan buat saya, tapi peluang buat desa. Bayangkan, dari lahan kering di Gunungkidul, kita bisa mengirim produk ke negara lain. Itu bukti bahwa desa pun bisa punya daya saing global,” katanya penuh optimisme.

Bagi Alan, setiap kemasan produk yang terbang ke luar negeri membawa cerita panjang tentang kerja sama, kegigihan, dan keyakinan bahwa mimpi besar bisa lahir dari tempat yang sederhana.

Sebuah Gerakan yang Menyatukan

alan efendhi penerima satu indonesia awards kategori wirausaha vasional
Produk olahan berbahan lidah buaya yang diproduksi oleh Alan Efendhi (Foto: Dok. Alan Efendhi)

Kisah sukses Aloe Land dan geliat ekonomi di desa tempat Alan tinggal ternyata tidak berhenti di batas wilayahnya saja. Seperti riak air yang menyebar ketika batu kecil dilemparkan ke kolam, cerita tentang 500 bibit lidah buaya yang mengubah wajah desa itu menyebar dari telinga ke telinga warga desa-desa sekitar. Mereka mulai penasaran, bahkan sebagian datang langsung untuk melihat bagaimana tanaman yang selama ini dianggap biasa saja bisa menjadi sumber penghasilan dan destinasi wisata edukasi.

Tidak sedikit kepala desa, kelompok tani, hingga komunitas pemuda yang mengundang Alan untuk berbagi pengalaman. Ia pun dengan senang hati memenuhi undangan itu, berpindah dari satu balai desa ke desa lainnya, membawa contoh bibit, foto-foto proses budidaya, dan beberapa produk olahan. Dalam setiap sesi pelatihan, Alan selalu menekankan bahwa inti keberhasilan ini bukan sekadar menanam tetapi mengelola potensi lokal dengan cara yang tepat dan berkelanjutan.

Bagi Alan, memberi pelatihan bukan hanya soal berbagi ilmu teknis tetapi juga menularkan semangat. Ia paham betul bagaimana sulitnya hidup di daerah dengan curah hujan minim, lahan tandus, dan akses terbatas ke pasar. Itulah mengapa ia ingin membuktikan bahwa pertanian berbasis potensi lokal yang sesuai dengan kondisi alam setempat bisa menjadi jawaban nyata bagi banyak desa yang menghadapi masalah serupa.

“Apa yang dimulai dari 500 bibit sekarang jadi ribuan tanaman yang menghidupi banyak keluarga,” ucapnya sambil tersenyum. Baginya, angka itu bukan sekadar statistik, melainkan simbol perubahan. Ia percaya, jika sebuah desa saja bisa mengubah nasibnya lewat satu komoditas yang dikelola dengan serius maka desa-desa lain pun punya peluang yang sama.

Ia pun selalu menutup pelatihan dengan pesan sederhana namun penuh makna, “Kalau kita bergerak bersama, sekecil apa pun langkahnya, dampaknya bisa terasa luas. Yang penting mulai dulu, jangan tunggu semuanya sempurna.” Menurut banyak peserta, pesan itu menjadi dorongan yang mereka butuhkan untuk memulai langkah pertama, entah itu menanam lidah buaya, mengolah hasil bumi lain, atau mengembangkan potensi lokal yang mereka miliki.

Tidak heran jika kini, di beberapa desa tetangga, mulai terlihat hamparan lidah buaya muda yang hijau segar. Sebagian bahkan sudah merencanakan membentuk koperasi untuk mempermudah pemasaran, terinspirasi dari langkah yang Alan lakukan. Sebuah bukti bahwa satu kisah sukses bisa menjadi benih perubahan di banyak tempat.

Cerita lidah buaya di Gunungkidul ini adalah cerminan nyata filosofi Satukan Gerak, Terus Berdampak. Dari sebuah tanah karst yang dulunya hanya dikenal panas dan kering, kini tumbuh sebuah gerakan yang merangkul semua lapisan warga. Bukan sekadar proyek pertanian biasa, tetapi sebuah perjalanan bersama yang menghidupkan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan menjadi sumber inspirasi yang merambah jauh melampaui batas desa.

Gerakan ini menjadi sangat istimewa adalah karena rasa memiliki yang tumbuh di hati warganya. Setiap orang merasa menjadi bagian dari cerita besar ini. Mulai dari petani yang menanam dan merawat, anak-anak muda yang memasarkan produk lewat media sosial, ibu-ibu yang mengolah pelepah menjadi minuman atau kosmetik, hingga para tetua desa yang bangga melihat wilayahnya mulai dikenal orang dari luar. Mereka semua bergerak dalam irama yang sama, saling melengkapi peran, saling menopang di setiap langkah.

Di balik setiap pelepah lidah buaya yang dipanen, tersimpan kisah manusia yang menyentuh hati. Ada seorang ibu yang kini bisa membiayai sekolah anaknya hingga perguruan tinggi, setelah bertahun-tahun hanya cukup untuk membayar uang seragam. Ada seorang pemuda perantau yang memutuskan pulang kampung, meninggalkan hiruk-pikuk kota, karena ia melihat peluang bekerja di Aloe Land sekaligus bisa dekat dengan keluarga. Ada pula seorang tetangga yang dulunya menganggap lahannya terlalu sempit untuk menghasilkan apa-apa, kini tersenyum lebar setiap bulan menerima penghasilan tambahan dari pelepah yang ia jual.

Lidah buaya di Gunungkidul bukan lagi sekadar tanaman gurun yang kebal kering. Ia kini menjelma menjadi simbol kerja sama, ketekunan, dan keberanian untuk bermimpi di tengah segala keterbatasan. Setiap helai daunnya seakan menyimpan doa, kerja keras, dan harapan yang terus tumbuh. Setiap tetes gelnya adalah bukti bahwa sesuatu yang sederhana namun bila dikerjakan bersama dan dikelola dengan hati bisa menghasilkan dampak luar biasa.

Dan yang terpenting, gerakan ini membuktikan bahwa perubahan besar tidak selalu dimulai dari langkah raksasa. Terkadang, ia lahir dari hal yang sangat kecil, seperti 500 bibit lidah buaya yang kemudian tumbuh, berlipat ganda, dan menyebarkan manfaat ke penjuru negeri.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply