Bagaimana Membuat Anak Cinta Buku di Era Digital?

bagaimana membuat anak cinta buku di era digital?

NININMENULIS.COM – Beberapa waktu lalu, aku melihat seorang balita duduk di stroller sambil menggenggam ponsel pintar. Jari-jarinya lincah menekan layar, seolah ia sudah paham bahwa dengan satu sentuhan saja, dunia bisa terbuka luas. Dari musik, video animasi, hingga game edukasi, semuanya bisa diakses dalam sekejap. Adegan itu membuat aku berpikir, bagaimana nasib buku-buku cerita yang dulu selalu menemani masa kecil kita? Apakah mereka masih punya tempat di hati anak-anak, atau pelan-pelan tergeser oleh cahaya biru layar gawai?

Pertanyaan itu terus bergema, apalagi ketika kita bicara soal literasi anak di era digital. Bukan rahasia lagi, teknologi kini jadi teman sehari-hari, bahkan sejak bayi. Tablet, ponsel, televisi pintar, semuanya menyajikan hiburan instan yang sulit disaingi oleh buku cetak yang sunyi. Namun di balik itu, ada satu hal yang tetap tidak berubah, kebutuhan anak akan cerita. Anak-anak selalu haus kisah. Mereka ingin tahu dunia, ingin mengenal tokoh, ingin belajar nilai-nilai, dan itu semua bisa tersampaikan lewat cerita. Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita, para orang tua dan pendidik, bisa menjembatani antara dunia digital dengan dunia literasi agar anak-anak tidak kehilangan cinta pada buku.

Membaca sebagai Tradisi yang Harus Dijaga

Kalau kita mundur sedikit ke belakang, tradisi membaca anak tidak lepas dari kebiasaan orang tua di rumah. Banyak di antara kita tumbuh dengan memori indah ketika dibacakan dongeng sebelum tidur. Kisah kancil, cerita Putri Salju, atau dongeng rakyat lain yang diwariskan turun-temurun menjadi jembatan imajinasi yang membekas hingga dewasa. Dari situlah muncul benih cinta pada buku.

Namun, tradisi ini mulai goyah ketika layar digital masuk lebih dalam ke rumah. Bukan berarti orang tua tidak lagi membacakan buku, tapi waktu untuk itu sering tersisih oleh pekerjaan, rutinitas, atau godaan teknologi. Anak yang terbiasa disodori gawai akan lebih cepat akrab dengan animasi YouTube daripada buku bergambar. Padahal, bedanya terasa jelas. Buku mengajak anak berimajinasi, sedangkan layar sering kali menyajikan gambar jadi yang tinggal ditonton.

Untuk itu, penting sekali menjaga tradisi membaca, meski hanya beberapa menit sehari. Anak yang tumbuh dengan kebiasaan mendengar cerita akan lebih mudah jatuh cinta pada buku, apa pun medianya. Apalagi sekarang, kita punya pilihan lain seperti e-book cerita anak yang bisa menjadi jembatan antara dunia digital dan tradisi membaca.

Buku Fisik vs E-book?

buku cerita bergambar anak
Di akun Lynk.id/nininrs juga menyediakan paket series cerita anak yang lebih murah.

Banyak orang tua masih berpikir bahwa e-book tidak bisa menggantikan buku cetak. Aroma kertas, sensasi membuka lembar demi lembar, atau koleksi buku di rak memang memberikan pengalaman berbeda. Tapi, apakah itu berarti e-book tidak punya tempat? Tidak juga.

Justru, e-book hadir sebagai solusi di tengah gaya hidup serba digital. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan layar sebenarnya bisa diarahkan untuk menjadikan gawai mereka bukan hanya sarana hiburan, tapi juga sumber bacaan. Bayangkan ketika mereka minta ponsel untuk menonton video, orang tua bisa dengan mudah membuka e-book cerita anak yang penuh ilustrasi warna-warni. Dalam hitungan detik, buku digital siap menemani. Praktis, hemat tempat, dan bisa dibawa ke mana saja.

Kolaborasi antara buku fisik dan e-book justru bisa memperkaya pengalaman anak. Buku cetak tetap penting untuk membangun kebiasaan membaca tanpa distraksi, sementara e-book menjadi jembatan yang akrab dengan keseharian anak di era digital. Dengan cara ini, anak bisa belajar mencintai buku dalam dua bentuk berbeda, tanpa merasa membaca itu kuno atau membosankan.

Peran Orang Tua sebagai Pemandu

Salah satu kunci agar anak mencintai buku di era digital adalah keterlibatan orang tua. Anak-anak, terutama usia dini, tidak bisa dibiarkan memilih sendiri. Mereka butuh pendamping yang menuntun, bukan hanya memberi.

Ketika anak terbiasa diberi ponsel untuk menenangkan mereka, orang tua bisa mengganti kebiasaan itu dengan membacakan cerita dari e-book. Tidak perlu lama, cukup 10–15 menit sebelum tidur, sambil menunjukkan ilustrasi atau mengajak anak menebak kelanjutan cerita. Dari kebiasaan kecil ini, anak belajar bahwa gawai tidak hanya untuk menonton, tetapi juga bisa membuka dunia baru melalui cerita.

Selain itu, orang tua juga bisa melibatkan anak dalam memilih bacaan. Misalnya, ketika mengunduh e-book, biarkan mereka memilih sampul yang menarik atau tema cerita yang disukai. Anak yang merasa punya andil dalam memilih akan lebih bersemangat membaca.

Cerita Sebagai Cermin Kehidupan

buku cerita bergambar anak
Buku cerita bergambar anak dengan ilustasi yang lucu dan disukai anak-anak.

Salah satu keistimewaan buku cerita anak, baik cetak maupun digital, adalah kemampuannya menjadi cermin kehidupan. Cerita tentang persahabatan, keberanian, kejujuran, atau tolong-menolong membantu anak memahami nilai moral secara sederhana. Alih-alih menasihati panjang lebar, orang tua bisa menyampaikan pesan lewat tokoh cerita.

Misalnya, dalam sebuah e-book tentang kucing kecil yang belajar berbagi makanan dengan teman-temannya, anak bisa melihat langsung bagaimana tokoh menghadapi dilema, lalu memilih keputusan yang baik. Dari situ, anak belajar bahwa berbagi itu indah, tanpa merasa sedang digurui.

Salah satu contoh nyata yang bisa dijadikan bacaan adalah e-book ‘Petualangan Kimi, Si Kucing Lucu’. Kisah ini bercerita tentang Kimi, seekor kucing menggemaskan yang tinggal di Desa Pasir Angin bersama sahabat-sahabatnya, Kikuk si ayam yang ceroboh tapi baik hati, Kimbo si anjing yang setia, dan Kiki si kambing yang cerdas namun usil. Mereka bersama-sama mengalami berbagai petualangan sehari-hari, dari hal-hal sederhana seperti belanja ke pasar hingga belajar arti kebersamaan saat menghadapi masalah di desa.

Cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menanamkan nilai persahabatan dan gotong royong, dua hal yang sangat penting untuk dipahami anak sejak dini. Lewat ilustrasi yang penuh warna, anak-anak bisa tertawa dengan tingkah Kikuk yang kerap salah langkah, kagum pada keberanian Kimbo, atau ikut merasa dekat dengan kehangatan Kiki dan Kimi. Setiap tokoh membawa karakter yang bisa dijadikan teladan, sehingga anak tidak hanya membaca cerita, tetapi juga menyerap nilai kehidupan.

Dengan membaca kisah seperti ini, anak-anak diajak untuk membayangkan dunia desa yang damai, tempat hewan-hewan bersahabat dengan manusia. Mereka belajar bahwa perbedaan bukan penghalang untuk saling mendukung, dan bahwa sahabat sejati akan selalu ada saat dibutuhkan. Pesan moral seperti inilah yang membuat buku anak baik fisik maupun e-book selalu relevan, bahkan di era digital.

Meski e-book bisa jadi solusi, tidak bisa dipungkiri bahwa layar gawai juga membawa tantangan. Distraksi adalah musuh utama. Saat membaca e-book di ponsel, notifikasi pesan atau iklan bisa dengan mudah mengalihkan perhatian.

Di sinilah peran orang tua penting. Gunakan perangkat yang minim distraksi, atau aktifkan mode pesawat saat membaca e-book bersama anak. Lebih baik lagi jika menggunakan e-reader atau tablet khusus membaca, sehingga anak bisa fokus menikmati cerita. Dengan begitu, pengalaman membaca tetap menyenangkan, bukan terganggu.

Salah satu cara efektif membuat anak cinta buku adalah menjadikan membaca sebagai pengalaman bersama, bukan aktivitas soliter. Anak-anak senang ditemani. Ketika mereka melihat orang tua ikut antusias membaca, mereka akan menirunya.

Bayangkan momen sederhana ketika orang tua dan anak duduk berdampingan di sofa, satu tangan memegang tablet berisi e-book, tangan lain merangkul anak. Cerita dibacakan dengan intonasi seru, sesekali anak diminta menirukan suara tokoh. Tawa dan keakraban muncul alami. Dari momen inilah cinta pada buku tumbuh, bukan karena dipaksa, tapi karena dihubungkan dengan rasa hangat dan bahagia.

Buku sebagai Investasi Masa Depan

Ada pepatah yang mengatakan, buku adalah jendela dunia. Kalimat ini terasa klise, tapi tetap relevan. Anak yang tumbuh dengan cinta pada buku akan lebih siap menghadapi dunia. Mereka punya kosa kata lebih kaya, imajinasi lebih luas, dan pemahaman nilai moral lebih dalam.

Di era digital, kemampuan membaca juga berhubungan erat dengan literasi digital. Anak yang terbiasa memahami cerita dari buku akan lebih kritis dalam memilah informasi di internet. Mereka tahu cara membedakan mana yang fakta, mana yang sekadar hiburan. Dengan kata lain, membiasakan anak membaca buku sejak dini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan mereka.

Di tengah derasnya arus teknologi, buku tetap punya tempat istimewa. Anak-anak memang lahir di era layar, tapi itu bukan berarti mereka harus kehilangan kesempatan menikmati cerita dalam bentuk buku. Justru, teknologi bisa kita manfaatkan untuk memperluas akses bacaan, membuat buku lebih dekat, dan membangun tradisi membaca yang relevan dengan zaman.

Membuat anak cinta buku di era digital bukan perkara melarang mereka memegang gawai, melainkan mengubah cara kita memanfaatkannya. E-book bisa menjadi jembatan antara kebiasaan lama dan dunia baru. Selama orang tua mau hadir, membimbing, dan meluangkan waktu, buku akan selalu hidup dalam hati anak-anak kita.

Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika mereka dewasa dan melihat anak-anak mereka sibuk dengan layar, mereka akan teringat momen hangat saat duduk bersama, membaca cerita dari sebuah e-book yang sederhana, namun membekas selamanya.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply