Menyusuri Jejak Sejarah Masjid Jami Kalipasir dan Keajaibannya di Tengah Hiruk Pikuk Kota Tangerang

pasar lama tangerang
Masjid Jami Kalipasir (Foto: Pribadi)

NININMENULIS.COM – Di tengah geliat modernisasi kota Tangerang, berdiri sebuah bangunan yang tak hanya menjadi tempat ibadah, tapi juga penjaga sejarah, saksi bisu perubahan zaman, sekaligus pusat cerita rakyat yang terus mengalir dari generasi ke generasi. Nama masjid ini adalah Masjid Jami Kalipasir. Sebuah bangunan tua yang tak lekang dimakan waktu, justru makin memesona seiring bertambahnya usia.

Jika kamu menyusuri bantaran Sungai Cisadane, di kawasan yang kini dikenal sebagai Pasar Lama Tangerang, kamu akan menemukan masjid ini. Mungkin dari luar tak banyak yang menyangka bahwa bangunan bersahaja ini menyimpan begitu banyak kisah. Tapi begitu kaki menjejak halaman masjid, waktu seakan melambat, membawa kita pada potongan-potongan cerita dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Jejak Tionghoa, Arab, dan Pribumi dalam Sejarah yang Bersenyawa

masjid jami kalipasir

Masjid Jami Kalipasir bukan masjid biasa. Dibangun pada tahun 1700-an, masjid ini dipercaya sebagai masjid tertua di kota Tangerang. Berdirinya masjid ini tidak bisa dilepaskan dari interaksi tiga budaya besar yang sejak dahulu mendiami wilayah tersebut, Tionghoa, Arab, dan pribumi Betawi-Banten.

Legenda menyebutkan bahwa masjid ini didirikan oleh seorang ulama keturunan Arab bernama Tumenggung Pangeran Arya Adipati Soetadilaga bersama para tokoh masyarakat sekitar. Namun, keunikan arsitekturnya menunjukkan pengaruh Tionghoa yang kental. atapnya berbentuk limasan dengan ornamen khas yang mirip kelenteng. Tiang-tiang kayunya pun berhiaskan ukiran yang mengingatkan pada bangunan tradisional Tionghoa, namun tetap mengusung nuansa Islam dalam tiap sisinya.

Ada pula pengaruh arsitektur lokal Jawa Barat dan Betawi yang tampak dari bentuk mimbar, serambi, hingga ornamen-ornamen dinding. Konon, pembangunan masjid ini dilakukan secara gotong royong, sebuah nilai luhur yang masih dipegang erat oleh masyarakat Kalipasir hingga kini.

Tak hanya menjadi tempat ibadah, Masjid Jami Kalipasir juga sejak lama berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat Tangerang. Di masa kolonial, masjid ini kerap dijadikan tempat berkumpulnya para tokoh masyarakat yang ingin membicarakan strategi menghadapi tekanan penjajah. Masjid menjadi tempat lahirnya semangat perjuangan, bukan sekadar tempat menundukkan kepala dalam sujud.

Pada masa awal kemerdekaan, masjid ini menjadi lokasi utama pengajian dan pendidikan agama. Banyak ulama lokal yang tumbuh besar dari lingkungan masjid ini. Diskusi keagamaan, musyawarah kampung, bahkan tempat berlindung saat keadaan genting, semua berpusat di Masjid Jami Kalipasir.

Sampai hari ini, fungsi itu masih hidup. Setiap sore, anak-anak belajar mengaji di serambi masjid, ditemani cahaya sore yang menyelinap lewat jendela-jendela kayu tua. Masjid ini seperti jantung yang tak pernah berhenti berdetak, memompa nilai-nilai toleransi dan kebersamaan ke seluruh nadi kota Tangerang.

Menyelusuri Jejak Spiritual yang Tak Pernah Padam

masjid jami kalipasir

Bagi siapa pun yang melangkah masuk ke kompleks Masjid Jami Kalipasir, ada nuansa yang langsung terasa, perpaduan antara kesyahduan masa lalu dan ketenangan spiritual yang tak lekang waktu. Di balik dinding bata tua dan lantai yang pernah dipijak para ulama, tersimpan kisah panjang tentang keimanan, perjuangan, dan kebijaksanaan. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah saksi bisu dari lintasan sejarah dan kehidupan para tokoh yang ikut membentuk wajah keislaman di Tangerang, bahkan di Tanah Banten.

Salah satu daya tarik paling kuat dari masjid ini adalah kompleks makam yang berada di sisi barat bangunan utama. Area ini sering disebut sebagai Makam Keramat Kalipasir Tangerang, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan spiritual masyarakat sekitar. Di sinilah, di bawah rindangnya pepohonan dan di antara batu-batu nisan tua yang mulai tertutup lumut, terbaring para ulama, bangsawan, dan tokoh masyarakat yang berjasa besar dalam sejarah berdirinya masjid serta perkembangan Islam di kawasan ini.

Makam-makam tersebut tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga semacam jendela menuju masa lampau. Beberapa nisan di sana memuat tulisan Arab dan angka tahun yang menunjukkan usia ratusan tahun, salah satunya bertanda 1823 M, menandakan betapa panjangnya jejak sejarah yang diukir di tanah ini. Bentuk nisannya pun beragam, ada yang menyerupai gada, ada pula yang persegi sederhana, sebagian besar kini tak lagi beraturan karena termakan usia dan waktu. Namun justru di situlah letak pesonanya. keaslian yang tidak diubah, keheningan yang menyimpan cerita, dan penghormatan yang masih hidup dari masyarakat yang datang berziarah.

Konon, di antara nisan-nisan itu terdapat beberapa tokoh besar yang namanya begitu harum di Tangerang dan Banten. Salah satunya adalah Nyai Ratu Hj. Murtafiah, sosok perempuan luar biasa yang dikenal sebagai pendiri pesantren putri pertama di Tangerang, bahkan dipercaya sebagai yang pertama di seluruh Pulau Jawa. Di masa ketika perempuan jarang mendapat ruang dalam pendidikan agama, beliau justru berdiri di garda depan, membuka jalan bagi generasi santri perempuan untuk belajar dan berperan.

Tak jauh dari makam beliau, terdapat pula pusara Raden Ahmad Penna, mantan Bupati Tangerang yang turut memperkuat peran agama dan budaya dalam pemerintahan lokal. Lalu ada Nyi Raden Uria Negara, istri Sultan Agung Tirtayasa, yang dikenal sebagai tokoh dermawan dan penyokong pembangunan masjid. Kontribusinya melampaui zamannya. Beliau memberikan relief dan sumbangan berharga bagi Masjid Kalipasir, memastikan tempat ini menjadi pusat spiritual dan sosial bagi masyarakat sekitar.

Nama-nama lain yang dimakamkan di sini juga tidak kalah penting. Tumenggung Aria Ramdon, salah satu pendiri masjid, dikenal sebagai sosok bijak yang mampu mempersatukan masyarakat melalui ajaran dan keteladanan. Ia kemudian diikuti oleh putranya, Aria Tumenggung Suta Dilaga, yang meneruskan perjuangan sang ayah dalam memperkuat kehidupan beragama di Tangerang.

Dalam kompleks ini juga terdapat makam Pangeran Geusan Ulun, raja terakhir Kerajaan Sumedang yang kemudian memilih menetap di kawasan ini. Keberadaannya menunjukkan bagaimana Masjid Jami Kalipasir bukan hanya menjadi tempat bagi tokoh lokal, tetapi juga bagi bangsawan dan ulama dari berbagai wilayah yang datang dan berbaur dalam satu nafas spiritual.

Menariknya lagi, di area ini juga dimakamkan Nyi Raden Juhariah, tokoh Palang Merah Indonesia yang turut bergerilya di masa perang kemerdekaan, khususnya di wilayah Balaraja, Banten. Ia bukan sekadar pejuang di medan bakti sosial, tetapi juga sosok yang mewakili semangat kemanusiaan dan keberanian perempuan Banten pada masa-masa sulit perjuangan bangsa.

Di antara makam-makam para ulama dan tokoh lokal, terdapat pula kisah yang unik: konon ada seseorang yang merupakan sepupu Imam Masjidil Haram yang juga dimakamkan di sini. Cerita ini, meski lebih sering beredar dari mulut ke mulut, menambah aura mistis sekaligus kebanggaan tersendiri bagi masyarakat sekitar. Bayangkan, di tanah kecil di pinggiran Sungai Cisadane ini, tersimpan hubungan spiritual yang melintasi jazirah Arab hingga ke Tanah Banten.

Selain itu, ada pula makam keturunan Kerajaan Padjadjaran, salah satu kerajaan besar di Jawa Barat yang mengislamkan banyak daerah di sekitarnya. Hal ini menegaskan bahwa Kalipasir memang menjadi simpul pertemuan antara berbagai garis keturunan penting di Nusantara. sebuah titik di mana sejarah politik, budaya, dan agama berjalin menjadi satu kesatuan.

Setiap langkah di area makam terasa seperti perjalanan menembus waktu. Suara azan dari menara masjid yang tua menggema lembut, berpadu dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga dari makam-makam tua. Bagi para peziarah, tempat ini bukan hanya tempat berdoa, tapi juga ruang kontemplasi, ruang untuk mengingat betapa panjangnya perjalanan para pendahulu dalam menanamkan nilai iman dan kebaikan di tanah ini.

Masyarakat sekitar percaya, ziarah ke Makam Keramat Kalipasir bukan sekadar bentuk penghormatan, melainkan cara untuk menjaga hubungan spiritual dengan masa lalu. Setiap tahun, terutama menjelang Ramadan dan bulan-bulan besar Islam, area ini ramai dikunjungi. Mereka datang dengan membawa doa, tahlil, dan harapan agar keberkahan para leluhur terus mengalir pada kehidupan mereka.

Meski sebagian makam mulai pudar tulisannya dan tertutup semak, semangat untuk merawatnya tidak pernah padam. Warga dan pengurus masjid bergotong royong membersihkan area setiap beberapa waktu. Pemerintah daerah pun mulai memberikan perhatian untuk menjaga kelestarian situs ini, karena nilai sejarah dan budayanya begitu besar. Masjid Jami Kalipasir dan makam-makam di sekitarnya telah menjadi jejak spiritual yang hidup, pengingat bahwa akar keislaman di Tangerang tumbuh dari tangan-tangan yang tulus, sederhana, namun kuat dalam keyakinan.

Di tengah hiruk pikuk kota modern dan lalu lintas yang makin padat, tempat ini seperti oasis ketenangan yang membawa kita kembali pada inti kehidupan: menghormati masa lalu, meneladani perjuangan, dan melanjutkan jejak kebaikan. Setiap nama di batu nisan itu adalah cerita—tentang pengabdian, cinta tanah air, dan iman yang tak tergoyahkan. Dan selama Masjid Jami Kalipasir masih berdiri, selama doa masih terlantun di bawah kubah tuanya, maka jejak spiritual itu akan terus menyala, tak pernah padam.

Bukan Sekadar Masjid, Tapi Juga Museum Hidup

masjid jami kalipasir

Dengan segala kekayaan sejarah dan budaya yang dimilikinya, Masjid Jami Kalipasir kini bukan hanya menjadi tempat salat lima waktu. Ia sudah menjelma menjadi semacam ‘museum hidup’, di mana orang bisa datang, belajar sejarah, merasakan denyut spiritualitas, dan menikmati arsitektur kuno yang masih terawat.

Banyak sekolah dan komunitas sejarah lokal yang menjadikan masjid ini sebagai tujuan wisata edukasi. Anak-anak sekolah dasar datang, belajar tentang toleransi antarbudaya, mempelajari sejarah Islam lokal, bahkan kadang menggelar lomba-lomba kecil yang berkaitan dengan kebudayaan.

Beberapa pengunjung bahkan datang bukan untuk beribadah, tapi untuk menikmati suasana tenang dan adem yang sulit dicari di tengah riuh kota. Di sore hari, suara muazin yang menggema dari menara masjid seakan membawa nuansa damai yang menjalar sampai ke gang-gang kecil di sekitarnya.

Dan kamu tahu apa yang paling menarik? Banyak wisatawan luar kota yang justru pertama kali tahu tentang Masjid Jami Kalipasir bukan dari brosur pariwisata resmi, tapi dari cerita mulut ke mulut, unggahan Instagram, hingga vlog YouTube yang merekam aura magis masjid ini.
Masjid Jami Kalipasir bukan tempat wisata dalam arti konvensional. Tidak ada tiket masuk, tidak ada pemandu tur berseragam, tidak ada toko suvenir yang menjual miniatur masjid. Tapi justru di sanalah letak pesonanya. Masjid ini “alami,” otentik, dan penuh cerita.

Kamu bisa duduk di serambi, menatap arsitektur yang usianya ratusan tahun, mendengarkan suara azan yang menggema seperti dari masa lalu, dan mungkin jika beruntung bertemu pengurus masjid yang akan dengan senang hati bercerita panjang lebar tentang sejarah dan keajaiban tempat ini.

Kalau kamu suka fotografi, Masjid Jami Kalipasir punya banyak sudut menarik. Permainan cahaya di sore hari saat matahari menyorot lewat kisi-kisi kayu tua, suasana teduh halaman masjid yang rindang, dan bayangan pohon tua di samping sumur legendaris, semuanya bisa menjadi komposisi yang indah.

Dan jika kamu datang saat Idul Adha, bersiaplah menyaksikan suasana yang penuh khidmat tapi juga hangat dan membumi. Di sinilah Idul Adha terasa bukan hanya sebagai ritual, tapi juga perayaan sosial yang menyatukan semua kalangan. Sholat ied digelar di pelataran masjid, lalu dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban dan pembagian daging kepada masyarakat sekitar, tanpa pandang status atau agama.

Di zaman ketika segala sesuatu terasa serba cepat dan instan, keberadaan Masjid Jami Kalipasir adalah pengingat bahwa ada hal-hal yang tetap indah karena tidak berubah. Bahwa nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan penghargaan terhadap warisan sejarah masih hidup di tengah masyarakat urban. Masjid ini bukan sekadar tempat salat, tapi juga ruang dialog budaya, tempat berkumpulnya harapan, dan rumah bagi jiwa-jiwa yang merindukan kedamaian.

Jadi, kalau kamu mencari tempat yang menawarkan lebih dari sekadar pemandangan, datanglah ke Masjid Jami Kalipasir. Bukan hanya matamu yang akan melihat, tapi hatimu juga akan merasa. Masjid Jami Kalipasir, tempat di mana waktu berhenti sejenak, dan kisah-kisah lama kembali hidup untuk menyapa kita yang kerap lupa dari mana kita berasal.

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply