
NININMENULIS.COM – Di antara kabut yang turun pelan di kaki Bukit Barisan, aroma kopi selalu hadir lebih dulu sebelum mentari benar-benar membuka hari. Di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, setiap pagi seolah dimulai dengan denting cangkir dan suara biji kopi yang digiling perlahan. Dari sinilah, kisah seorang pemuda bernama Kenan Juliansyah bermula. Sebuah kisah tentang kopi, kearifan lokal, dan semangat yang tak pernah berhenti untuk memberdayakan.
Kenan mungkin bukan nama besar di industri kopi nasional. Namun bagi petani kopi di Kepahiang, ia adalah simbol harapan baru. Seseorang yang tidak hanya memahami cita rasa kopi, tapi juga memahami denyut nadi petaninya. Ia adalah bagian dari inisiatif Kopi Kearifan Lokal, sebuah gerakan yang mengajak masyarakat kembali pada akar, pada kearifan leluhur, dan pada cara-cara tradisional yang ramah alam dan manusia.
Contents
Dari Lereng Kepahiang, Harum Itu Menyebar
Kepahiang mungkin tidak sepopuler Gayo, Kintamani, atau Toraja dalam peta kopi Indonesia. Tapi bagi para penikmat kopi sejati, aroma kopi Bengkulu punya karakter yang tak kalah memikat, sedikit earthy, sedikit floral, dengan after taste yang panjang dan lembut. Dan di tengah hamparan kebun-kebun kopi rakyat inilah Kenan tumbuh besar.
Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan petani kopi. Sejak kecil, aroma kopi sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Dari biji yang dijemur di halaman rumah, hingga cerita bapaknya tentang bagaimana hujan bisa menentukan nasib panen. Tapi yang menarik, Kenan tidak hanya melihat kopi sebagai hasil bumi semata. Ia melihatnya sebagai simbol kehidupan dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun.
“Dulu, saya kira menanam kopi itu cuma soal hasil. Tapi ternyata kopi itu juga tentang cara hidup, bagaimana kita memperlakukan tanah, air, dan sesama,” ujar Kenan dalam salah satu wawancaranya.
Sebelum dikenal publik, Kenan hanyalah salah satu petani muda di Pak Sahid Coffee, sebuah kelompok tani yang memproduksi kopi arabika khas Kepahiang. Namun seiring waktu, ia mulai gelisah melihat realitas di lapangan. Banyak petani kopi lokal yang hidup pas-pasan, bahkan ketika harga kopi sedang tinggi. Sebagian besar karena mereka masih menjual biji mentah ke tengkulak dengan harga yang jauh di bawah nilai pasar.
Kenan tahu, masalahnya bukan hanya di harga, tapi di cara pandang. Petani sering kali tidak melihat diri mereka sebagai pelaku utama dalam rantai nilai kopi, melainkan sekadar pemasok bahan mentah. Ia pun mulai bergerak, membangun kesadaran, satu per satu, lewat obrolan di kebun, di warung, atau di acara pelatihan.
“Kalau kita mau dihargai, kita harus mulai menghargai diri sendiri dulu,” katanya suatu kali, di depan kelompok tani muda binaannya.
Ia pun mulai memperkenalkan konsep Kopi Kearifan Lokal. Sebuah pendekatan yang memadukan cara tanam tradisional, kearifan ekologis, dan inovasi modern. Fokusnya bukan hanya meningkatkan kualitas biji kopi, tapi juga membangun nilai tambah di tingkat petani. Mulai dari pengolahan pascapanen, pengemasan, hingga pemasaran berbasis cerita lokal.
Kearifan Lokal yang Menghidupkan

Filosofi yang diusung Kenan sederhana, tapi dalam maknanya, yakni kopi yang baik hanya bisa lahir dari hubungan yang baik antara manusia dan alam. Kalimat itu sering ia ulang dalam setiap pertemuan, bukan untuk terdengar bijak, tapi karena ia benar-benar meyakininya. Bagi Kenan, kopi bukan sekadar tanaman yang menghasilkan uang, melainkan bagian dari ekosistem kehidupan yang harus dijaga keseimbangannya.
“Kita ini cuma numpang hidup di tanah. Jadi sudah sepantasnya kita memperlakukan tanah dengan hormat,” begitu katanya suatu pagi di sela-sela panen, sembari menunjuk barisan pohon kopi yang tumbuh rapi di bawah naungan lamtoro dan suren.
Ia selalu menekankan pentingnya kembali pada kearifan leluhur, cara-cara lama yang tidak rakus, tidak merusak, tapi menghasilkan sesuatu yang lestari. Petani-petani tua di Kepahiang dulu, katanya, menanam kopi dengan rasa syukur. Mereka tak tergesa-gesa memperluas lahan, tak serakah mengejar panen, karena mereka paham, tanah punya irama sendiri yang tak bisa dipaksa.
Petani zaman dulu tahu persis kapan waktu terbaik memangkas ranting, menanam, atau menjemur. Mereka tahu bagaimana arah angin bisa memengaruhi aroma biji kopi, dan bagaimana tetes embun pagi bisa menjaga kelembapan daun. Mereka bahkan tahu bahwa pohon pelindung bukan sekadar peneduh, tapi rumah bagi burung-burung kecil yang membantu menjaga keseimbangan ekosistem. Semua itu adalah ilmu turun-temurun yang tidak tertulis di buku mana pun, tapi hidup dalam keseharian.
Kini, pengetahuan itu perlahan mulai dihidupkan kembali oleh Kenan dan timnya di Kopi Kearifan Lokal. Mereka tidak datang membawa teori rumit atau teknologi canggih, melainkan membawa semangat untuk belajar dari alam. Ia menginisiasi pelatihan bagi petani muda agar kembali mengenali kekayaan pengetahuan yang ada di sekitar mereka sendiri.
Pelatihannya sering dilakukan di tengah kebun, di antara aroma tanah basah dan daun kopi yang baru tersapu embun. Kadang tanpa tenda, tanpa alat lengkap, hanya papan tulis kecil dan biji kopi yang dijadikan contoh. Tapi di sanalah semangat itu tumbuh. Semangat untuk memperbaiki cara tanam, cara olah, dan cara berpikir.
Kenan mengajarkan fermentasi alami. Metode yang memanfaatkan mikroorganisme alami dari buah kopi itu sendiri, tanpa bahan tambahan kimia. Hasilnya memang tidak instan, tapi rasa yang dihasilkan jauh lebih kompleks dan alami. Ia juga mengenalkan pupuk organik dari sisa kulit kopi dan kotoran ternak, sehingga limbah pertanian kembali menjadi sumber kehidupan.
Bagi Kenan, semua proses itu bukan hanya soal teknik, tapi soal filosofi. “Kalau kita sabar, alam juga akan sabar pada kita,” ujarnya. Ia ingin para petani memahami bahwa kopi yang baik tidak bisa lahir dari ketergesa-gesaan atau keinginan untuk untung cepat. Butuh kesabaran, perhatian, dan rasa hormat terhadap proses.
Namun menariknya, Kenan tidak menutup diri dari modernitas. Ia justru melihat teknologi sebagai jembatan, bukan ancaman. Ia menggunakan sistem pencatatan digital sederhana untuk mendata panen, mencatat cuaca, dan memantau pertumbuhan tanaman. Dengan begitu, petani bisa membaca pola dan mengambil keputusan yang lebih tepat.
Bahkan di sela kesibukannya di kebun, Kenan juga aktif di media sosial. Ia membuat konten edukatif seputar kopi, cara tanam, hingga cerita petani. Baginya, media sosial bukan hanya untuk hiburan, tapi juga sarana mengubah persepsi publik tentang petani kopi. Ia ingin generasi muda melihat bahwa bertani itu keren, bahwa kopi bukan hanya soal minum, tapi soal kebanggaan atas warisan budaya.
“Petani kopi sekarang harus bisa jadi marketer juga.Kalau kita nggak bisa menjual cerita, biji kopi kita akan tetap dianggap sama seperti yang lain.” katanya sambil tersenyum.
Di sinilah letak keunikan gerakan yang ia bangun. Kopi Kearifan Lokal bukan sekadar label, melainkan identitas. Ia menjual kopi dengan cerita, tentang tangan-tangan petani yang merawat, tentang tanah yang dijaga, dan tentang nilai-nilai yang dihidupkan kembali. Setiap kemasan kopi punya kisah sendiri. Dari siapa yang menanam, di ketinggian berapa pohonnya tumbuh, hingga bagaimana proses pengolahannya.
Dengan begitu, pembeli tidak hanya membeli kopi, tapi juga membeli nilai, nilai kebersahajaan, kerja keras, dan cinta pada alam. Dan nilai-nilai itulah yang membuat kopi Kepahiang perlahan mulai punya tempat di hati para penikmat kopi di luar Bengkulu.
Bagi Kenan, keberhasilan sejati bukan saat kopi mereka dijual ke kota besar atau diekspor ke luar negeri, tapi ketika para petani di desanya bisa tersenyum bangga melihat hasil kerja mereka dihargai. “Saya ingin anak-anak muda di sini melihat bahwa masa depan mereka tidak harus pergi ke kota. Ada banyak hal besar yang bisa dimulai dari desa, dari tanah sendiri,” katanya suatu sore, ketika matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan.
Dari Pelatihan ke Pemberdayaan

Langkah Kenan tidak berhenti di kebun. Justru dari kebun itulah ia mulai menapaki jalan yang lebih luas. Jalan yang mempertemukannya dengan gagasan baru, orang-orang inspiratif, dan cara pandang yang membuka cakrawala berpikirnya sebagai petani muda.
Kesempatan itu datang ketika ia terpilih mengikuti program pelatihan vokasi di bawah Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kementerian Perindustrian. Program ini dirancang untuk memperkuat kapasitas pelaku industri kecil dan menengah, termasuk sektor kopi yang menjadi salah satu potensi unggulan di Bengkulu.
Bagi Kenan, pelatihan ini menjadi titik balik. Ia bertemu dengan petani dan pelaku kopi dari berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh, Toraja, Flores, hingga Mandailing. Setiap orang datang dengan cerita, pengalaman, dan pendekatan berbeda terhadap kopi. Ia menyerap semuanya dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Waktu itu saya seperti anak kecil yang masuk ke toko mainan. Begitu banyak hal baru yang bisa dipelajari. Saya sadar, dunia kopi jauh lebih luas daripada yang saya bayangkan.” ujarnya sambil tertawa.
Di pelatihan itu, ia tidak hanya belajar soal teknik, tapi juga tentang manajemen usaha, pemasaran, branding, dan inovasi produk. Ia memahami bahwa kopi bukan sekadar hasil panen, tapi juga produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi jika diolah dengan strategi yang tepat. Dari sana, Kenan mulai memikirkan bagaimana caranya agar petani di Kepahiang bisa naik kelas, dari sekadar produsen bahan mentah menjadi pelaku bisnis kopi yang utuh.
Salah satu momen yang paling berkesan baginya adalah ketika para peserta diminta membuat business plan sederhana. Di situlah ia mulai merancang ide Kopi Kearifan Lokal sebagai gerakan sosial sekaligus usaha berbasis pemberdayaan. Konsepnya sederhana namun kuat, kopi yang diproduksi dengan menghormati alam, menghidupkan budaya lokal, dan memberi nilai tambah bagi petaninya.
Sepulang dari pelatihan, Kenan tidak menunggu lama. Ia langsung mengaplikasikan semua ilmu yang ia peroleh di tanah kelahirannya, Kepahiang. Ia mengajak beberapa teman sebaya, anak-anak muda desa yang sebelumnya hanya membantu orang tua di kebun untuk bergabung dalam kelompok kecil. Mereka mulai belajar bersama, bagaimana membuat kopi bubuk kemasan, bagaimana menghitung harga pokok produksi, dan bagaimana bercerita tentang kopi mereka dengan cara yang menarik.
Kelompok ini kemudian menjadi cikal bakal komunitas Kopi Kearifan Lokal. Di tangan mereka, kopi tidak lagi berhenti di biji. Ia diproses, dikemas, diberi identitas, dan dipasarkan dengan merek sendiri. Mereka menjual kopi bukan hanya di pasar lokal, tapi juga lewat media sosial dan marketplace, memanfaatkan jaringan yang selama ini tidak pernah terbayangkan oleh petani-petani lama.
Yang paling menarik, Kenan tidak hanya menargetkan keuntungan. Ia ingin perubahan yang berkelanjutan dari pelatihan menuju pemberdayaan. Ia tahu, ilmu yang ia bawa tidak akan berarti apa-apa kalau hanya berhenti di dirinya. Karena itu, ia mulai menularkannya kepada lebih banyak orang.
Awalnya, kegiatan itu hanya berupa pertemuan kecil di balai desa, dengan alat seadanya dan proyektor pinjaman. Tapi dari pertemuan ke pertemuan, jumlah peserta terus bertambah. Petani muda datang dari dusun-dusun sekitar Kepahiang, ingin belajar bagaimana cara mengolah kopi dengan cara baru. Mereka membawa hasil panen sendiri, mencoba metode natural process, honey process, atau full wash, sambil mencicipi hasilnya bersama-sama.
Dari situ, Kenan melihat sesuatu yang lebih penting daripada sekadar hasil panen, rasa percaya diri. Mereka yang dulu malu menyebut diri petani, kini justru bangga. Anak-anak muda yang dulu bermimpi meninggalkan desa untuk bekerja di kota, mulai berpikir ulang. Mereka menyadari bahwa kopi bisa menjadi jalan untuk membangun masa depan di tanah sendiri.
“Saya ingin petani muda di Bengkulu tidak lagi merasa jadi pemain pinggiran. Mereka harus percaya bahwa dari desa pun, mereka bisa punya produk yang diakui,” ujar Kenan.
Perubahan itu terasa nyata. Kini, kelompok yang ia bentuk tidak hanya memproduksi kopi bubuk dan cold brew, tapi juga mulai bereksperimen membuat produk turunan lain seperti sabun kopi, lilin aromaterapi berbahan kopi, hingga pupuk organik dari limbah kulit kopi. Semua ide itu muncul dari hasil diskusi, dari semangat kolektif yang Kenan tanamkan sejak awal, berpikir kreatif, bekerja bersama, dan berbagi hasil dengan adil.
Gerakan ini lambat laun berkembang menjadi komunitas sosial ekonomi berbasis kopi. Mereka rutin menggelar pelatihan terbuka untuk masyarakat sekitar, bekerja sama dengan pemerintah daerah, sekolah vokasi, dan beberapa pelaku UMKM lain. Dalam setiap kegiatan, Kenan selalu menekankan bahwa pemberdayaan tidak bisa datang dari luar. Ia harus lahir dari dalam, dari kesadaran bahwa setiap orang punya peran untuk mengubah nasibnya sendiri.
Ia juga membangun sistem sederhana untuk memastikan keberlanjutan. Setiap anggota kelompok yang berhasil mengembangkan produknya sendiri diwajibkan melatih satu orang baru. Dengan cara ini, ilmu tidak berhenti di satu generasi saja, tapi terus mengalir, seperti aroma kopi yang menembus pagi.
Kisah sukses para anggota kelompok mulai terdengar. Ada yang berhasil menjual kopi kemasan hingga ke kota Bengkulu, ada yang membuka kedai kecil di pinggir jalan, bahkan ada yang diundang berbicara di kampus tentang sustainable coffee farming. Semua itu berawal dari semangat yang sama bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil, asal dilakukan bersama.
Kini, Kopi Kearifan Lokal bukan sekadar komunitas penghasil kopi. Ia telah menjadi ruang belajar, tempat bertumbuh, dan simbol kebanggaan bagi masyarakat Kepahiang. Di balik setiap biji kopi yang mereka hasilkan, tersimpan kisah tentang kolaborasi, pembelajaran, dan keberanian untuk berubah.
Kenan tidak lagi sekadar menjadi penggerak, tapi juga penopang semangat kolektif. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi selama masih ada yang mau belajar, mau berbagi, dan mau bekerja sama, ia percaya bahwa gerakan kecil di Kepahiang ini akan terus berdampak, jauh melampaui batas kebun dan kabupaten.
“Dulu saya berpikir pemberdayaan itu soal memberi pelatihan. Sekarang saya tahu, pemberdayaan itu soal menyalakan keyakinan. Setelah api keyakinan itu menyala, mereka akan berjalan sendiri,” katanya suatu sore, menatap ke arah bukit.
Mengangkat Bengkulu ke Peta Kopi Nasional
