NININMENULIS.COM – Mengunjungi festival yoga mungkin bukan tujuan awal saya mengikuti olahraga ini. Festival yoga yang saya datangi pun terbilang dapat dihitung dengan jari, tiga kali hingga saat ini (Mei 2017). Sedikit? Ya memang sedikit. Itu pun karena alasan tertentu saya mengikutinya. Festival pertama yang saya ikuti saat itu Yoga Fair yang diadakan oleh Pink Shimer Inc yang bertujuan untuk membantu para pengidap kanker payudara.
Acara ini mengambil tempat di ballroom Kuningan City Mall. Selain tujuannya yang mulia, alasan saya tertarik mengikuti festival yoga ini yakni para instrukturnya yang mumpuni seperti Deera Dewi dan Slamet Riyanto. Mereka, nama-nama yang selama ini saya hanya dengar dari sesama rekan sebelum kelas yoga dimulai.
Yogaja 2016 menjadi festival kedua yang saya ikuti. Festival ini hanya menarik biaya seikhlasnya yang seluruhnya didonasikan untuk para penyandang Thalasemia. Saya yang awalnya tidak mengetahui tentang penyakit ini, di sini mendapatkan informasi lengkap, karena di sela-sela kelas yoga diadakan juga sesi talkshow dari para pakar dan penyandang Thalasemia. Dari delapan kelas yang diadakan (astanga, hatha, restorative, yin, markandeya yoga, vinyasa flow, yoga grove, dan yoga mix) saya hanya mengikuti tiga kelas (restorative, yin, dan yoga mix). Itu pun karena saat ingin mengikuti kelas markandeya, saya sudah kehabisan tempat.
Jika pada festival pertama, saya menghadirinya sendiri dan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu akan suatu festival yoga, di ajang kedua yang mengambil lokasi di Ex. Golf range Senayan ini saya mengikutinya dengan teman-teman dari Jatomi Fitness, ada Sara, Meiga, Galang, Mbak Dee, Mbak Iin dan Mbak Rusti. (FYI ketiga nama terakhir para panitia dari Yoga Mix Community).
Festival ketiga yang saya ikuti MNC Yoga Festival 2017 yang bertempat di Pantai Lagoon Ancol. Kalau bukan ajakan Mbak Ika, teman yoga di Jatomi Fitness yang studio yoganya, Yoga Tree turut diajak meramaikan salah satu sesi dari Yoga Community, mungkin saya pun tidak akan pernah mengikuti festival yang untuk pengunjung dikenakan biaya seratus ribu rupiah. Berbeda dari festival pertama dan kedua di mana saya datang sebagai peserta yoga, di festival ini saya perform bersama ke-13 rekan lainnya yang dari berbagai komunitas menampilkan Yoga with Best Friend. Dalam yoga yang dibuat berpasangan tersebut, saya berpasangan dengan Roni, salah satu anggota dari Taman Tebet Community. Oiya selain saya dan Mbak Ika masih ada Galang dan Mbak Iin yang turut perform di acara ini.
Itu hanya sepenggal cerita saya saat mengikuti festival yoga. Setiap festival hadir dengan warna yang berbeda-beda dan juga memberi kesan yang berbeda juga. Kehadiran teman-teman baru juga variasi yoga yang dihadirkan memberikan pengalaman dan pengetahuan yang mungkin tidak saya dapat jika hanya ber-yoga di studio atau gymnastic.
Bicara tentang sebuah festival yoga khususnya di Jakarta, saya sendiri tak tahu kapan pertama kali diadakan. Seingat saya, pada 2010 ada festival Namaste yang diselanggarakan untuk mempopulerkan gaya hidup sehat saat itu, dan festival ini masih berlanjut setiap tahunnya. Bila dahulu para pecinta yoga harus menunggu setahun untuk merayakan eforia berkumpulnya para yogi dan yogini dalam satu tempat, tidak berlaku saat ini.
Menambah wawasan bertemu dengan para yogi/yogini mungkin itu yang paling terlihat dari ajang-ajang seperti ini. Namun sayangnya, karena telah menjadi sebuah komoditi, sebuah festival yoga kerap hanya dipakai untuk ajang ‘dagang’ baik para penyelenggara, sponsor, atau pun praktisi. Alih-alih untuk memasyarakatkan olahraga, justru banyaknya produk ‘jualan’ yang mendominasi venue. Lantas apakah hal tersebut salah? Menurut saya tidak. Ada simbiosis mutualisme atau ikatan saling menguntungkan antara keduanya. Bagi pihak sponsor, ajang ini dapat mempopulerkan produknya di mata pengunjung. Sedang bagi praktisi yoga, di sinilah ajang mereka untuk show up dan mempertunjukan berbagai variasi dari yoga (walaupun lagi-lagi ‘jualan’).
Tak heran banyak nama-nama praktisi yoga yang terkenal dari seringnya ia perform di ajang-ajang festival. Tidak jarang setiap festival akan muncul nama-nama ‘itu lagi itu lagi’ yang perform. Lalu apakah semua praktisi yang tampil dalam ajang festival tersebut semuanya qualified? Kalau itu tergantung bagaimana tubuh dan pikiran Anda memandang yoga. Jika dengan nama-nama praktisi sekelas festival dapat meningkatkan latihan Anda, tentu semakin seringnya ajang ini diselenggarakan akan semakin baik.
Melihat hal tersebut tentu dibutuhkan kreativitas penyelenggara untuk memberi kemasan yang menarik dan berbeda untuk dapat mendatangkan banyak peserta. Karena bukan tak mungkin, banyaknya festival yoga yang hadir saat ini justru membuat bosan para yogis dan berpikir “paling gitu-gitu lagi”. Jika sudah demikian, saatnya me-backward ke tujuan awal mengapa memilih yoga. Karena ‘Your Body is Perfect’!
Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast
View all posts by Ninin Rahayu Sari