NININMENULIS.COM – Ada yang berbeda di Atrium Neo Soho Central Park, Jakarta Barat pada Sabtu (18/6) lalu, sebuah perhelatan fashion show yang diprakarsai oleh USG Education melalui salah satu program pendidikan internasionalnya UIC College bekerjasama dengan HOPE (Gelang Harapan) tengah diselenggarakan. Fashion show 3 (three) Generations yang mengangkat tema Reinventing Heritage ini bertujuan untuk meneruskan tradisi mengangkat budaya Indonesia dan menjaga kesinambungan alam antar lintas generasi.
Selain fashion show UIC for HOPE Festival, di belakang panggung juga diadakan eksibisi yang menampilkan karya para siswa UIC College dan HOPE yang didukung beragam karya kreatif dalam bidang UMKM bisnis, fashion, desain, dan musik, juga tidak ketinggalan penggalangan dana untuk penderita kanker.

Perhelatan yang dilakukan di Neo Soho Central Park, Jakarta Barat ini bukan hanya menjadi showcase, tapi juga menyediakan wahana untuk menimba ilmu dari para pakar Industri Kreatif yang telah mendunia. Dunia fashion di Indonesia saat ini sudah semakin berkembang. Industri fashion menjadi daya tarik budaya tersendiri, yang mempu menambah pendapatan nasional suatu bangsa.
Contents
Ajang Mencari Talenta Baru Desain Berbasis Kearifan Lokal
Festival ini diadakan karena sebagai wadah pendidikan USG Education merasa perlu untuk menggerakkan dan meningkatkan kreativitas dengan melakukan kolaborasi berkelanjutan. Bersama HOPE (Gelang Harapan) sinergi keduanyamenjadi wadah bagi para siswa UIC College untuk mengekspresikan kepeduliannya terhadap bangsa Indonesia melalui karya di bidang fashion, desain, dan musik.
Sebagai salah satu pendiri dari HOPE (Gelang Harapan), Wulan Guritno, UIC for HOPE Festival merupakan bagian dari program Future Warrior of HOPE yang bertujuan untuk menyebarkan kasih sayang dan harapan terhadap berbagai pihak yang membutuhkan melalui gerakan sosial. “Melalui teman-teman baru dari UIC College diharapkan tercipta generasi muda produktif yang dapat mewujudkan tujuan tersebut,” kata Wulan.
Sebelum acara puncak fashion show Three Generations dengan tema Reinventing Heritage dimulai, di panggung yang sama para keempat siswi UIC College of Fashion BSD yang terdiri dari Beverly Hanson, Jennifer Patrecia, Patrecia Saputra, dan Graciella Violetta menunjukan karya-karya ciamik mereka. Kreativitas keempat siswi ini dapat diacungi jempol. Hanya dalam waktu tiga bulan mereka terlihat mampu merepresentasikan budaya dan alam Indonesia melalui karya yang dapat diterima generasi muda.

Seperti yang diungkapkan Graciella Violetta yang mengangkat tema fashion Pala dari Banda Neira saat sesi wawancara khusus, “Inspirasi tersebut datang setelah saya membaca sebuah travel blog yang menulis tentang buah pala dari Banda Neira yang memiliki perpaduan warna merah dan hitam. Dari situ akhirnya terpikir untuk menerjemahkan desain ke dalam fashion Punk Style yang biasanya terkesan ‘berantakan’ menjadi desain yang sophisticated dan elegan.”
USG International College (UIC College) memang lebih menekankan konsep real world learning & industry based curriculum, di mana para siswa diajak untuk langsung mengenal industri di bidangnya masing-masing.
“Karena kelangsungan industri kreatif harus disokong oleh generasi penerus baik dari sisi akademik, kemampuan serta wawasan global. Tak hanya bermodalkan kreativitas, bibit-bibit baru dituntut memiliki kemampuan sebagai pelaku bisnis fashion yang mumpuni. Ajang seperti ini merupakan langkah nyata dalam menghasilkan talenta baru yang akan menjadi generasi penerus para desainer terkemuka Indonesia, berbasis kearifan lokal yang mengikuti selera global serta mendukung UMKM di Indonesia,” kata Adhirama Gumay, Presiden Direktur USG Education saat press conference.
Tidak hanya mencari talenta-talenta baru yang dapat membuat desain berkonten lokal yang kreatif, inovatif, dan juga membangun mode bisnis yang tepat, tetapi juga mampu menjaga kesinambungan alam. Seperti yang dicontohkan Rinda Salmun saat gelaran fashion show di UIC for HOPE Festival lalu.

Sebagai merek fashion yang menonjolkan menonjolkan kepribadian pemakainya, Rinda melihat banyak efek positif untuk kemajuan ekonomi bangsa. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada hal lain yg perlu diperhatikan terkait kelangsungan lingkungan, seperti pencemaran alam yang dapat disebabkan oleh produksi berlebihan. Untuk itu Rinda Salmun selalu mengedepankan konsep upcycling dan zero waste di dalam produksinya dengan menggabungkan daur ulang dan pemilihan materi yang lebih ramah lingkungan.
“Hal ini dilakukan untuk menciptakan koleksi yang bergaya tetapi tetap menjaga kesinambungan alam kita. Prinsip fashion berkesinambungan ini juga yang saya terapkan pada siswa UIC College ketika menjadi dosen pembimbing dalam proyek ‘Reinventing Heritage’,” kata Rinda Salmun.
Dalam membuat rancangan busana, USG Education juga menanamkan berbagai kompetensi lain yang diperlukan untuk membuat koleksi fashion berdaya saing tinggi seperti yang ditampilkan dalam UIC for HOPE Festival. Para generasi penerus industri fashion tersebut haruslah memiliki kemampuan menciptakan konsep tata busana yang berkarakter, melalui desain yang otentik dan juga mengerti akan bisnis dan branding.

“Selain itu pemilihan materi yang mendukung kesinambungan, dan juga desain yang mempunyai pesan khusus, membuat satu koleksi mempunyai nilai lebih di pasar domestik bahkan internasional,” ujar Aimee Sukesna, USG Education Head of BSD Campus.
Puncak Acara UIC for HOPE
Sebagai puncak acara UIC for HOPE Festival dari fashion show Three Generations dengan tema Reinventing Heritage, dihadirkan karya-karya dari desainer senior Ghea Panggabean yang telah berpengalaman selama lebih dari 40 tahun berkarya dan senantiasa mengangkat budaya Indonesia dalam setiap rancangannya.
Untuk UIC for HOPE Festival kali ini Ghea Panggabean mengangkat kain cual atau yang sering disebut sebagai tenun cual. Kain tenun khas Bangka Belitung ini pada abad ke-18 sering digunakan oleh kaum bangsawan keturunan Ence’ Wan Abdul Haiyat di Kampung Petenon. Tenun cual yang bermakna celupan awal pada benang yang diwarnai ini merupakan perpaduan antara teknik songket dan tenun ikat, namun yang menjadi ciri khasnya terletak pada susunan motifnya. Kain asli tenun cual oleh Ghea ini dibuat menjadi celana, rok, jaket, dan sarung trendi yang dipadukan dengan blouse, tunik dari bahan chiffon, dan organza dengan print motif emas ciri berhiasan manik juga bordir yang menambah indahnya koleksi ini.
Selain itu Ghea Panggabean juga menampilkan koleksi wayang beber dalam warna-warna baru yang ditranformasikan ke dalam gaya masa kini di atas bahan chiffon yang nyaman dan eksklusif. Untuk yang tidak mengenal apa itu wayang beber, saat sesi media briefing Ghea menjelaskan, “wayang beber adalah seni pertunjukan wayang yang penyajiannya dalam bentangan lembaran kertas atau kain bergambar dengan stilisasi wayang (kulit) disertai narasi oleh seorang dalang. Pertunjukan wayang beber muncul dan berkembang di Jawa bagian Wengker (sekarang Ponorogo dan Pacitan) pada masa pra-Islam karena Ponorogo masa itu sudah dapat membuat daluwang atau kertas Ponoragan, tetapi terus berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kesultanan Mataram. Cerita yang ditampilkan diambil dari kisah Mahabharata maupun Ramayana.”
