Waspada! Ancaman Karhutla Muncul Kembali

pantau gambut

NININMENULIS.COM – Siang (11/8) itu, Ola panggilan akrab Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut kembali hadir mengingatkan kami para Eco Blogger Squad akan kerentanan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang sangat mungkin kembali terjadi. Siang itu ada seratusan Eco Blogger Squad hadir lewat aplikasi Zoom Meeting untuk mendengarkan kajian terbaru dari Pantau Gambut mengenai ancaman Karhutla.

Di bulan kemerdekaan Republik Indonesia ini, Ola mempertanyakan apakah Indonesia Merdeka dari Karhutla(?) “Terlebih lagi, di 2023 masuk ke dalam periode siklus anomali iklim El Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kekeringan panjang,” buka Ola. Ancaman karhutla pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) tahun ini menjadi permasalahan serius karena Pantau Gambut menemukan bahwa 2,5 juta hektar lahan gambut di Indonesia berada pada kerentanan kelas tinggi. Dengan kata lain, kerusakan lahan gambut secara ekstrem yang diikuti oleh pelepasan emisi dan zat-zat kimia ke atmosfer akan membahayakan seluruh tatanan ekologi dan sosial di bumi.

Mengenal apa itu KHG

Sebelum mengingatkan kembali kita akan ancaman Karhutla di Indonesia, yuk kita cari tahu dulu apa itu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG)? “Kalau bicara tentang ekosistem gambut maka kita juga harus kenal dengan apa yang disebut dengan KHG,” imbuh Ola. KHG merupakan suatu ekosistem gambut yang letaknya di antara dua sumber air baik itu sungai, laut, ataupun rawa. Penamaan KHG biasanya disesuaikan dengan nama sumber air yang mengapitnya, misalnya KHG Sungai Ifuleki Bian – Sungai Dalik di Provinsi Papua Selatan, KHG Sungai Rokan – Sungai Siak Kecil, KHG Sungai Kahayan – Sungai Sebangau di Provinsi Kalimantan Tengah, dan lain sebagainya.

pantau gambut
Kondisi lahan gambut yang selalu berair Foto: Dok. Pantau Gambut)

Sebagai satu kesatuan ekosistem, di dalam KHG banyak ditemukan keragaman hayati yang bersifat endemik, artinya hanya dapat ditemukan di atas lahan gambut saja. Keanekaragaman hayati tersebut termasuk flora dan fauna di dalamnya. Beberapa tanaman endemik paludikultur yang hanya tumbuh di lahan gambut karena tidak memerlukan aktivitas drainase atau pengairan, contohnya gambut contohnya Purun, Jelutong, dan Ramin.

Sedangkan fauna khas lahan gambut ada Bekantan, Orang Utan, Langur, Harimau Sumatera, Beruang Madu, dan Buaya Sinyulong. Di lahan gambut juga banyak terdapat jenis ikan, seperti Ikan Gabus, Baung, bahkan ikan terkecil di dunia, Ikan Paedocypris Progenetica yang panjangnya hanya sekitar 9 milimeter. Selain dipenuhi keragaman flora dan fauna, KHG juga menjadi tempat tinggal masyarakat adat atau komunitas lokal yang memanfaatkan area sekitar KHG. Lahan gambut pun memiliki banyak manfaat seperti berikut:

Mengurangi dampak bencana banjir dan kemarau

Daya serapnya yang tinggi membuat gambut berfungsi sebagai tandon air. Gambut dapat menampung air sebesar 450-850 persen dari bobot keringnya. Selain itu, gambut yang terdekomposisi juga mampu menahan air 2 hingga 6 kali lipat berat keringnya.

Menunjang perekonomian masyarakat lokal

Berbagai tanaman dan hewan yang habitatnya di lahan gambut dapat menjadi sumber pangan dan pendapatan masyarakat sekitar gambut.

Habitat untuk perlindungan keanekaragaman hayati

Berbagai macam flora dan fauna dapat tumbuh dan tinggal di lahan gambut. Beberapa jenis flora sangat berguna bagi masyarakat sehingga perlu dibudidayakan. Sementara itu, fauna yang tinggal di lahan gambut berperan penting dalam menjaga keberlangsungan hidup ekosistem gambut lainnya.

Lahan gambut menjaga perubahan iklim

Gambut menyimpan cadangan karbon yang besar sehingga ketika lahan gambut Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan yang ada di seluruh dunia. Ketika terganggu, dikeringkan atau mengalami alih fungsi, simpanan karbon di dalam gambut terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

Sehingga idealnya KHG itu harus memiliki kondisi gambut yang basah dengan beragamnya kehidupan hayati di atasnya. Karena KHG merupakan satu kesatuan integral yang berada dalam satu kawasan hidrologis maka perlu diperhatikan juga bahwa wilayah gambut yang terbasahi tidak hanya berada pada satu titik saja tetapi secara keseluruhan. Bila lahan gambut terbakar atau terdegradasi maka perlu dilakukan restorasi atau pemulihan ekosistem tersebut biar fungsinya kembali seperti semula.

Penyebab Karhutla dan Dampak yang Ditimbulkannya

Secara alami, lahan gambut memiliki tumpukan material organik yang selalu basah dan menyimpan air dalam jumlah besar. Namun kegiatan pengeringan membuat air yang tersimpan mengalir pada kanal-kanal buatan. Material organik yang semula basah pun berubah menjadi kering. Material organik yang sudah kering tersebut dapat menjadi bahan bakar ketika dipertemukan dengan api di permukaan, dan api dapat menjalar ke dalam tanah. “Kebakaran di lahan gambut dapat berlangsung lama, bahkan sampai berbulan-bulan. Api dapat menjalar ke lapisan dalam gambut sehingga membuatnya tetap membara di bawah meskipun pada permukaan gambut api terlihat sudah padam,” ungkap Ola.

pantau gambut
Waspada Karhutla Kembali Terjadi Foto: Dok. Pantau Gambut)

Kejadian kebakaran paling umum disebabkan karena adanya kegiatan pembakaran pada saat pembukaan lahan gambut untuk persiapan lahan, baik itu dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat. Pembukaan lahan ini biasanya dilakukan dengan melakukan pengeringan lahan serta melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan. “Alasan utama melakukan pembakaran pada saat melakukan pembukaan lahan adalah karena cara tersebut terbilang mudah, biaya yang diperlukan termasuk murah, dan prosesnya cepat. Namun pembakaran yang dilakukan dapat memberikan dampak buruk terhadap kondisi biofisik gambut dan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran lahan gambut dalam skala luas,” tuturnya.

Sejak 2015 hingga 2023, Karhutla telah terjadi di 32 provinsi di Indonesia, yang terbesar di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua. Dari Karhutla yang terjadi, 33 persennya terjadi pada lahan gambut. Hal ini tentu mengakibatkan banyak dampak kerugian, seperti:

  • Hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta habitat satwa.

  • Kerugian lingkungan terkait keanekaragaman hayati diperkirakan sekitar USD 295 juta.

  • Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur.

  • Kabut asap terjadi di hampir 80 persen wilayah Indonesia. Asap yang dihasilkan dari karhutla turut dirasakan hingga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

  • Sejumlah 28 juta jiwa terdampak, 19 orang meninggal, dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan pernapasan atau ISPA. Racun yang dibawa oleh asap menyebabkan gangguan pernafasan, mata dan kulit, serta terutama sangat berbahaya bagi balita dan kaum lanjut usia; udara yang beracun tersebut mengandung karbondioksida, sianida dan amonium.

  • Sekitar 5 juta siswa kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah pada tahun 2015 Jumlah Emisi 1.1 gigaton setara CO2.

Mitigasi Ancaman Karhutla

Untuk mencegah terjadinya Karhutla tentu menuntut partisipasi banyak orang, mulai dari penduduk yang tinggal di sekitar kawasan rentan kebakaran, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, hingga pihak swasta yang turut andil dalam pemanfaatan lahan. Untuk mengendalikan Karhutla ada tiga hal yang patut dilakukan, pencegahan, penanganan atau pemadaman saat terjadi kebakaran, hingga hal yang perlu dilakukan pasca terjadinya kebakaran.

pantau gambut
Banyak flora dan fauna endemik ada di lahan gambut (Foto: Dok. Pantau Gambut)

Penanganan kebakaran hutan dan lahan yang paling efektif adalah dengan melakukan pencegahan sebelum terjadinya kebakaran. “Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan sosialisasi terkait bahayanya kebakaran hutan, merevisi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemberian perizinan di lahan gambut, serta pengamatan titik rawan kebakaran yang lebih intensif,” saran Ola.

Dan jika Karhutla terjadi perlu dilakukan proses pemadaman dengan cepat dan tangkas. Beberapa cara pemadaman yang dilakukan meliputi pembuatan sekat bakar, jalur yang dibersihkan dari bahan bakaran yang sengaja dibuat di wilayah yang rawan terjadi kebakaran untuk mencegah penyebaran api apabila terjadi kebakaran; pemadaman manual melalui mobil pemadam kebakaran dan tangki air; water bombing, yakni menjatuhkan bom air dari helikopter untuk memadamkan api; hingga Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan cara penyemaian garam untuk menciptakan awan hujan di atas area yang terbakar.

“Hingga kini sudah sebanyak 120 ribu titik api dipadamkan lewat waterbombing, hujan buatan, dan pemadaman darat. Untungnya ada hujan besar di Oktober 2015 yang berhasil menurunkan jumlah titik api secara drastis,” lanjut Ola

Jika terjadi kebakaran, pengendalian tidak cukup selesai lewat pemadaman saja karena penanganan pasca Karhutla untuk mengembalikan kawasan agar berfungsi seperti sedia kala tentu berperan penting. Penanganan pasca kebakaran merupakan semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar. Penanganan pasca kebakaran dapat dilakukan dengan pembuatan kebijakan mengenai restorasi gambut, melakukan restorasi gambut meliputi rewetting, revegetation, dan revitalization yang telah terdegradasi termasuk monitoring.

Ini tentu menjadi tantangan kita bersama sebagai warga negara Indonesia. Semua pihak harus bekerjasama dalam hal mencegah terjadinya Karhutla yang akan mengakibatkan kerugian ekonomi maupun lingkungan. Sebelum mengakhiri materinya, Lola Abas memberikan beberapa saran yang dapat dilakukan yaitu:

  • Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penggunaan api di lahan gambut.

  • Implementasi komitmen dan kebijakan restorasi gambut tak terkoordinasi dan berkelanjutan.

  • Tumpang tindih antara status kepemilikan lahan gambut dan izin penggunaannya kerap menjadi penghalang dalam pelaksanaan program restorasi gambut.

  • Evaluasi terhadap izin2 yang sudah terbit tidak berjalan dengan baik.

  • Pemberian izin yang terburu-buru tanpa kajian lingkungan.

  • Penegakkan hukum yang tidak mempunyai efek jera.

  • Kebutuhan dana yang besar dan komitmen jangka panjang untuk merestorasi gambut.

  • Belum ada peta gambut yang detail yang dapat membantu dalam penyusunan rencana restorasi gambut yang tepat sasaran.

  • Diperlukan partisipasi masyarakat dalam menyumbang pengetahuan pengelolaan gambut tradisional yang berkelanjutan, dan dalam memantau kelangsungan program restorasi gambut di lapangan.

Setelah mengetahui dan paham bagaimana berbahayanya dampak Karhutla, yuk kita bersama-sama waspada dengan ancaman Karhutla yang muncul kembali dan turut serta dalam menjaga hutan di Indonesia dengan menjadi bagian dari Team Up For Impact (TUFI). Informasi lebih lengkap cek ke https://teamupforimpact.org yess!

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply