NININMENULIS.COM – Indonesia, negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, sedang menghadapi dua masalah besar yang saling bertolak belakang namun sering terlupakan, sampah makanan dan kelaparan. Sementara sebagian orang menikmati keberlimpahan pangan, di sisi lain, hampir 20 juta orang Indonesia masih hidup dalam kelaparan atau kekurangan gizi. Fakta yang mencolok ini memunculkan sebuah dilema besar, yaitu pemborosan makanan yang justru berakhir sebagai sampah, sementara masih ada banyak pihak yang membutuhkan. Menanggapi isu ini, Garda Pangan, sebuah gerakan sosial yang didirikan pada 2017, hadir dengan misi besar, mengurangi sampah makanan sekaligus mengentaskan kelaparan melalui solusi berkelanjutan.
Contents
Masalah Sampah Makanan di Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 42% komposisi sampah yang terkumpul di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berasal dari sampah makanan. Angka ini menunjukkan besarnya pemborosan yang terjadi setiap hari, sementara di saat yang bersamaan, banyak orang masih berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup. Berdasarkan data, setiap orang Indonesia rata-rata membuang sekitar 300 kilogram makanan per tahun, sementara lebih dari 19 juta orang di tanah air hidup dalam kekurangan pangan.
Sampah makanan ini tidak hanya menambah tumpukan sampah di TPA, tetapi juga berkontribusi besar terhadap krisis iklim. Sampah makanan yang dibiarkan membusuk menghasilkan gas metana (CH4), yang memiliki dampak pemanasan global 23 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2). Selain itu, pemborosan pangan ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Proses produksi pangan memerlukan banyak sumber daya, mulai dari tenaga kerja, air, bahan baku, hingga energi. Ketika makanan dibuang begitu saja, semua biaya dan sumber daya yang telah digunakan menjadi sia-sia.
Misi Mengurangi Sampah dan Membantu yang Membutuhkan
Melihat kontradiksi ini, Kevin Gani, seorang pemuda yang tergerak oleh kebiasaan keluarganya yang sering memesan makanan lebih dari yang dibutuhkan, menginisiasi berdirinya Garda Pangan. Kevin menyadari bahwa makanan berlebih yang seringkali terbuang bisa dimanfaatkan untuk membantu orang yang membutuhkan. Maka, bersama dengan timnya, ia mendirikan organisasi yang berfokus pada dua hal utama yaitu mengurangi sampah makanan dan menyediakan akses pangan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Garda Pangan berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk mengumpulkan makanan berlebih yang terbuang dari industri hospitality, seperti restoran, kafe, catering, bahkan pasar. Makanan-makanan ini kemudian disortir, diperiksa kualitasnya, dan didistribusikan kepada warga pra-sejahtera yang tinggal di daerah-daerah Surabaya dan sekitarnya.
Salah satu program unggulan dari Garda Pangan yaitu food rescue, yaitu penyelamatan makanan surplus yang masih layak konsumsi namun berpotensi terbuang. Proses food rescue dilakukan dengan sangat hati-hati dan melibatkan beberapa tahapan. Makanan yang dikumpulkan dari mitra seperti restoran, kafe, atau hotel akan diperiksa menggunakan metode organoleptik, yaitu melalui indera penglihatan, penciuman, dan rasa. Makanan yang sudah tidak layak atau tercemar akan dibuang, sedangkan yang masih aman dikonsumsi akan dipersiapkan untuk didistribusikan.
Kevin Gani menjelaskan, “Kami memulai dengan kebiasaan keluarga saya yang sering kali memesan lebih banyak makanan daripada yang dibutuhkan. Kami berpikir, makanan yang berlebih ini seharusnya bisa disalurkan untuk mereka yang membutuhkan. Tidak hanya mengurangi sampah makanan, tapi juga memberikan manfaat sosial yang besar.”
Setelah disortir, makanan akan dikemas ulang dan disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan melalui pendekatan door-to-door. Makanan dibagikan ke rumah-rumah warga yang terdaftar dalam database penerima manfaat Garda Pangan, yang terdiri dari kampung-kampung pra-sejahtera, yayasan, panti asuhan, dan rumah singgah.
Tantangan Logistik dan Kerja Sama dengan Mitra
Mengelola operasional food rescue bukanlah tugas yang mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan makanan tetap dalam kondisi layak konsumsi ketika sampai di tangan penerima manfaat. Makanan yang diselamatkan seringkali dalam kondisi basah dan harus cepat didistribusikan agar tidak rusak. Oleh karena itu, Garda Pangan bekerja dengan waktu yang sangat ketat, melakukan penyortiran dan pengemasan dengan cepat agar makanan tetap terjaga kualitasnya.
Namun, meskipun sudah ada banyak mitra yang bekerja sama, tantangan besar lainnya adalah memastikan bahwa konsep food bank ini diterima dengan baik oleh masyarakat dan para pelaku usaha. Banyak yang masih ragu untuk menyumbangkan makanan berlebih karena khawatir akan kualitasnya. Oleh karena itu, Garda Pangan terus melakukan sosialisasi untuk menjelaskan pentingnya berbagi makanan yang masih layak konsumsi, dengan tujuan mengurangi sampah sekaligus memberikan manfaat sosial yang lebih besar.
Keberlanjutan dan Teknologi Inovatif Black Soldier Fly (BSF)
Selain program food rescue, Garda Pangan juga mengembangkan teknologi untuk mengolah makanan yang sudah tidak layak konsumsi menjadi sesuatu yang berguna. Salah satunya adalah teknologi Black Soldier Fly (BSF), yang menggunakan larva lalat untuk mengolah sampah organik menjadi pakan ternak. Teknologi ini memungkinkan Garda Pangan untuk mengolah lebih banyak sampah makanan, mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke TPA, dan memberikan alternatif produk berguna dari limbah organik.
Dengan teknologi BSF ini, Garda Pangan dapat mengolah hingga 800 kilogram sampah makanan per hari, dengan rencana untuk meningkatkan kapasitasnya menjadi 2 ton per hari. Penggunaan teknologi ini tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang baru dalam pengelolaan sampah organik secara efisien dan ramah lingkungan.
Menuju Masa Depan yang Lebih Baik dengan Berbagi dan Berkelanjutan
Dalam 7 tahun keberadaannya, Garda Pangan telah menyalurkan lebih dari 577.000 porsi makanan kepada hampir 28.000 penerima manfaat. Setiap porsi yang disalurkan bukan hanya sekadar memberikan makanan, tetapi juga membawa dampak sosial yang lebih luas. Makanan yang diberikan kepada warga pra-sejahtera bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik mereka, tetapi juga membawa dampak psikologis yang besar, yaitu rasa dihargai dan diperhatikan.
Garda Pangan juga memiliki program food drive, di mana masyarakat diajak untuk menyumbangkan makanan surplus pada momen-momen tertentu, seperti setelah Idul Fitri, atau saat terjadi bencana alam. Program ini semakin memperkuat semangat berbagi dan mengurangi pemborosan pangan dalam masyarakat.
Dengan pendekatan berbasis komunitas, teknologi, dan kerja sama dengan berbagai pihak, Garda Pangan tidak hanya mengurangi sampah makanan tetapi juga berkontribusi dalam mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama pada poin Zero Hunger, Responsible Consumption and Production, serta Climate Action.
Sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Awards (SIA) 2024 di bidang lingkungan, keberhasilan Garda Pangan dalam mengurangi sampah makanan dan mengentaskan kelaparan semakin menginspirasi banyak pihak untuk ikut serta dalam gerakan sosial ini. Kevin Gani dan tim Garda Pangan berharap bahwa dengan adanya gerakan ini, semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya mengelola makanan secara bijak dan bertanggung jawab. Dengan langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama, kita bisa mewujudkan keberlanjutan pangan yang lebih baik untuk masa depan.
Garda Pangan adalah bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil yang penuh makna. Mengurangi sampah, mengentaskan kelaparan, dan mewujudkan keberlanjutan pangan bukanlah mimpi yang mustahil. Dengan berbagi dan bekerja bersama, kita bisa mencapainya.
Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast
View all posts by Ninin Rahayu Sari