Masih besarnya stigma mengatasnamakan agama di masyarakat mengenai OYPMK, menjadikan penyakit kusta tidak juga hengkang dari Indonesia. Sebenarnya bagaimana sih agama memandang penyakit kusta? Lalu bagaimana kita meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melihat OYPMK dan penyandang disabilitas?
Tag: Ruang Publik KBR
Melihat tingginya angka kebencanaan yang terjadi di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya mitigasi dan penanganan bencana alam. Seperti yang kita tahu, setiap orang tanpa pandang bulu bisa menjadi korban bencana alam termasuk penyandang disabilitas dan OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta). Meski BNPB sudah punya rencana mitigasi bagi kelompok disabilitas, namun dalam pelaksanaannya, hal ini tetap perlu pengawasan dari berbagai pihak. Lalu bagaimana mitigasi bencana bagi OYPMK dan penyandang disabilitas yang sudah dilakukan? Seberapa efektifkah langkah yang sudah dilakukan?
Sama halnya dengan penyandang disabilitas dewasa baik yang disebabkan oleh kusta atau ragam disabilitas lainnya, demikian pula dengan anak dengan disabilitas dan kusta masih tetap terjebak dalam lingkaran diskriminasi. Terlebih pada anak, salah satu hambatan terbesarnya yaitu banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakuan yang salah, baik dalam hal pendidikan hingga lingkungan sosialnya. Lalu, bagaimana upaya pemenuhan hak dan pendidikan yang inklusi pada anak dengan disabilitas dan kusta dapat segera terwujud? Apa saja upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak dengan disabilitas dan kusta sejauh ini?
Bagaimana OYPMK memaknai kemerdekaan dan kebebasan dalam berkarya, kesejahteraan mental, dapat bersosialisasi di masyarakat tanpa adanya hambatan dan stigma baik dari diri sendiri maupun lingkungan yang melekat pada dirinya? Apa peran serta masyarakat dan orang-orang terdekat dalam upaya mendukung pemberdayaan OYPMK dan penyandang disabilitas?
Masih adanya anggapan dari para orang tua bahwa remaja disabilitas dan OYPMK tidak membutuhkan pengetahuan seksual sekaligus stigma bahwa disabilitas dan OYPMK tidak bisa menikah dan terpenuhi hak reproduksinya membuat hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka menjadi terabaikan. Lalu bagaimana menyiapkan remaja dengan ragam disabilitas maupun OYPMK agar mampu menghadapi masa pubertasnya dengan sehat, bahagia, tanpa rasa takut?
Siapa yang kemarin ingin berpergian tetapi diurungkan karena adanya syarat perjalanan yang ‘merepotkan’? Atau siapa yang bingung saat aturan tersebut direvisi dalam waktu cepat? Kemarin pemerintah bilang A, sekarang bilang B, lalu sebagai pelaku perjalanan apa yang perlu kita cermati dari aturan perjalanan yang berubah-ubah ini?
Kita semua tentu menyadari betapa penting peran dokter dalam upaya memberikan layanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Namun sedikitnya jumlah dokter yang semakin diperparah dengan hadirnya COVID-19 membuat layanan kesehatan tidak berjalan optimal. Salah satu kelompok yang terdampak yakni para penderita kusta, di mana untuk beberapa kasus, mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapatkan layanan seperti biasa saat sebelum pandemi. Hal ini mengakibatkan menurunnya temuan kasus baru karena terbatasnya pelacakan kasus, dan angka keparahan atau kecacatan meningkat.
Pada Rabu (13/10) lalu, Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) dan didukung oleh The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) mengadakan talkshow dengan tema ‘Kasus COVID-19 Turun Drastis, Apa Kata Pakar?’ Talkshow yang aku saksikan secara live streaming di YouTube Berita KBR ini dipandu oleh Rizal Wijaya dan menghadirkan dua narasumber, dr. Dicky Budiman (Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia) juga dr. Koesmedi Priharto (Kasubbid Tracing Satgas COVID-19).