NININMENULIS.COM – Pindah ke daerah perkampungan tidak pernah terbayangkan oleh saya selama ini. Selama ini impian tinggal di apartemen atau perumahan yang dikelola developer selalu yang ada dalam angan. Tapi sejak mama sakit banyak pertimbangan saat memutuskan pindah. Saya tidak bisa egois memilih tinggal di apartemen yang sangat tidak diinginkan mama. Bagi mama, tinggal itu harus menapak pada tanah, memiliki perkarangan untuk berkebun, ada dapur dan tempat jemur. Wew! Semua yang tidak mungkin ada di apartemen.
Akhirnya saya pun harus melambaikan tangan akan hunian vertical yang praktis dan simpel tersebut. Namun untuk memilih hunian yang dikelola developer pun bukan perkara mudah. Lingkungan perumahan yang dalam proses dengan ukuran ruang dan tanah yang terbatas menjadikan saya tidak cepat-cepat memutuskan membelinya. Berapa brosur rumah telah saya perlihatkan ke mama, dan hanya berakhir di kolong meja.
Mungkin benar bila ada yang berkata ‘membeli rumah sama halnya mencari jodoh’. Kalau belum jodoh bagaimana pun tak pernah mendapatkan yang pas. Hingga suatu hari Aweng menawari rumah, katanya “tapi rumahnya di kampung mbak nin,” dan saya pun mulai mensurveinya.
Perjalanan menuju rumah tersebut? Saya sangat tidak tertarik! Jalanan yang berlubang-lubang membuat saya tersenyum dan membatin “gak mungkin saya tinggal di daerah seperti ini”.
Daerah Pasir Angin merupakan daerah di perbatasan Citayam dan Bojonggede. Kenapa saya bilang perbatasan? Kalau kita pesan ojek online tarif ke dua stasiun (Citayam dan Bojonggede) sama, hanya berbeda 0,6 km. Nama jalan masuknya pun semakin membuat saya tak tertarik jalan keramat (yaolo gak bisa apa diganti dengan nama yang lebih keren, seperti Sacret Street *eh*).
Mungkin dinamai demikian karena adanya beberapa makam dewasa dan bayi di sisi jalan tersebut. Ok fix! Saya tidak mau tinggal dekat dengan kuburan. Selain kuburan dan rumah, sepanjang jalan ini juga terdapat deretan pohon bambu yang tingkat kerindangannya seperti canopy jalan.
Rumah yang saya tuju posisinya nyempil di belakang rumah lainnya (karena bukan di cluster posisi dan arah hadap rumah di sini pun tidak dalam pola yang sama). Berbeda dari rumah sekitarnya, rumah yang saya tuju memiliki desain yang lebih modern dengan posisi lebih tinggi dari rumah sekitarnya.
Rumah tersebut memiliki lahan 130 meter persegi dengan bangunan kurang lebih 70 meter persegi. Hhhmmm….. luasan yang tidak mungkin saya dapat di perumahan dengan budget yang saya miliki. Di dalam terdapat tiga kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dan dapur. Tak ketinggalan teras di sisi depan, samping dan belakang.
Bicara tentang belakang rumah, lahan perkebunan yang sejauh mata memandang banyak dijumpai pohon singkong menjadi pemandangan tak terbatas. Lalu apakah saya tertarik? Belum! Hingga siang hari menjelang pulang hujan datang cukup deras dan memaksa kami lebih lama di rumah tersebut. Lahan yang tinggi dan situasi rumah membuat rumah ini terasa dingin dan nyaman.
Dari survey sesaat tersebut saya sampaikan seluruhnya kepada mama. And guess what?? She exciting! Wow ekspresi yang tidak saya jumpai saat saya sodorkan beberapa brosur perumahan. Sepanjang malam dia terus bertanya-tanya tentang rumah tersebut dan menyebutnya “rumah kamu”. Dari sanalah saya lantas berpikir “kalau tak jadi beli tentu mama kecewa”. Yak! Itulah sepenggal cerita awal ‘perburuan’ saya dalam mencari rumah.
Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast
View all posts by Ninin Rahayu Sari