Kicauan Sahabat Korban Kekerasan Seksual

kolektif advokat untuk keadilan gender

NININMENULIS.COM – Kekerasan seksual, akhir-akhir ini semakin banyak diberitakan. Hal ini tentu menjadi momok menakutkan khususnya bagi kaum perempuan. Padahal dalam kenyataan kekerasan seksual tidak memandang gender dan status sosial. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana, kapan, dan dialami siapa saja, termasuk anak-anak, laki-laki, dan juga kaum minoritas seksual.

Para korban kekerasan seksual di Indonesia masih harus menempuh jalan terjal untuk mendapatkan keadilan. Tidak jarang justru mereka yang sering mendapatkan penghakiman dan perlakukan yang cenderung menyalahkan korban. Jika sudah demikian korban kekerasan seksual biasanya lebih memilih diam dan memendam rapat-rapat kekerasan seksual yang dialaminya. Tentu saja, sikap diam dan membiarkan kekerasan seksual terus terjadi berulang-ulang itu bukanlah hal yang dapat diterima.

Jawaban menarik keluar dari Justitia Avila Veda, seorang pengacara lulusan Universitas Indonesia, saat saya menanyakan, “apa yang harus dilakukan agar kejahatan seksual tidak menimpa kita?”. Pertanyaan standar yang sering diajukan semua orang yang tidak ingin kekerasan seksual menimpanya. “Tidak ada! Kekerasan seksual itu salah pelaku, bukan korban. Korban tidak perlu mengubah apapun. Itu adalah kewajiban masyarakat untuk memberikan public safety kepada setiap orang,” kata Veda tegas. Sebuah paradigma menarik yang terlontar dari seorang penegak hukum. Di saat para korban kekerasan seksual biasanya banyak yang sudah tidak percaya lagi bahwa keadilan dapat ditegakkan.

Rasa tidak percaya akan mendapatkan keadilan melainkan penghakiman sosial yang dialami para korban kekerasan seksual berdampak ke fisik, psikis, dan juga psikososial-nya. Secara fisik, para korban kerap mendapatkan luka, penyakit menular, hingga hilangnya nyawa, sedangkan secara psikis, korban akan depresi, ketakutan, keinginan menyakiti diri sendiri, dan masih banyak lagi lainnya.

“Jika menemukan korban kekerasan seksual sebaiknya kita mengafirmasi apa yang mereka alami. Memberikan mereka ruang, menjadi pendengar yang bebas dari prasangka, menghormati apapun pilihan mereka, tidak menjadi yang paling benar, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk bantuan yang bisa digunakan sesuai keinginan korban, serta tidak menceritakan apa yang korban ceritakan kepada orang lain lagi. Dan jika kita tidak bisa melakukan semua itu, lebih baik diam saja!” saran Veda kepada masyarakat bila menjumpai korban kekerasan seksual.

Apa yang disarankan Veda ini sangat masuk akal mengingat perjuangan para korban kekerasan seksual untuk menghilangkan stigma sosial, menuntut keadilan, sekaligus berjuang menyembuhkan luka fisik dan psikisnya bukanlah hal yang mudah. Tekanan dan paksaan justru membuat mereka lebih traumatis. “Pastikan saat mereka siap,” ujar Veda mengenai kapan waktu yang tepat seorang korban kekerasan seksual sebaiknya melapor.

Banyak insight menarik yang saya dapatkan setelah berbincang dengan Justitia Avila Veda mengenai tindak kekerasan seksual. Mulai dari awal kepeduliannya sampai terbentuk kolektif advokat, hingga bagaimana sikap kita sebagai masyarakat saat menyaksikan tindak kekerasan seksual pun menjadi hal menarik untuk dibahas.

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

justitia avila veda
Justitia Avila Veda dan tim relawan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)

Tingginya perhatian Veda terhadap para korban kekerasan seksual yang akhirnya memunculkan kicauan iseng di akun twitternya @romestatute. Dalam kicauannya, Veda menawarkan jasa konsultasi umum bagi korban kekerasan sosial atau orang yang melihat ada tindak kekerasan seksual. “Dalam kicauan tersebut saya menuliskan siap membantu jika ada yang membutuhkan konsultasi hukum mengenai kasus kekerasan atau pelecehan seksual. Ternyata kicauan tersebut viral dan saya memperoleh respons positif dari publik, dan ada seorang pengacara lain serta seorang jaksa yang menyatakan ingin turut membantu memberikan konsultasi hukum,” cerita Veda.

Viralnya kicauan Veda dibuktikan dalam 24 jam pertama sejak tweet tersebut dibuat, ia sudah mengantongi 40 aduan yang masuk ke email-nya, belum termasuk yang mengadu melalui direct message (DM) twitter. Besarnya antusiasme masyarakat yang berkonsultasi mengenai kekerasan seksual, namun belum rapi dan terstruktur ia dalam menangani setiap aduan yang masuk inilah menjadikan Justitia Avila Veda untuk mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG).

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) yang diinisiasi pada Juni 2020 ini adalah sebuah kolektif pengacara yang beranggotakan kurang lebih 20 pengacara dan supporting staff yang fokus memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara pro bono kepada korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya. “Apabila dibutuhkan, KAKG juga menghubungkan korban kekerasan seksual dengan penyedia layanan jasa lainnya, seperti pendampingan psikologis hingga medis,” imbuh pengacara lulusan dari University of Chicago Law School ini.

Hingga kini KAKG telah menangani lebih dari 150 kasus aduan kekerasan seksual. Dari banyak nya aduan yang masuk, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam bentuk penyebaran konten intim dan doxing, masih mendominasi aduan kasus yang masuk pada era pandemi. Selain itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) juga masih banyak diadukan.

“Dikonfirmasi dari Komnas Perempuan, kasus KDRT atau kekerasan di ranah domestik meningkat tajam, kemungkinan dikarenakan adanya tekanan ekonomi saat pandemi,” ungkap Veda yang dalam menangani kasus kekerasan seksual bekerjasama juga dengan berbagai pihak, seperti Safenet Voice, Komnas Perempuan, Purple Code, Taskforce KBGO, NGO, serta lembaga pemerintahan lainnya.

justitia avila veda
KAKG yang fokus memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara pro bono kepada korban kekerasan seksual

Meskipun implementasi penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual di Indonesia masih tampak jauh panggang dari api, namun sesungguhnya sedang berusaha menuju ke arah yang lebih baik, terlebih lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi payung bagi upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban kekerasan seksual.

UU TPKS ini juga mengatur koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kerja sama internasional agar pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif. Jadi sekarang masih menjadi PR kita bersama untuk memasyarakatkan UU TPKS di lingkungan tenaga aparat hukum untuk mengerjakan semua peraturan tuntutan yan dimandatkan UU tersebut.

Masih belum mulusnya penerapan UU TPKS tidak menyurutkan langkah Veda dan para relawan di KAKG meneruskan program yang mereka inisiasi. Meskipun diakuinya sangat menguras tenaga mengingat proses pendampingan bisa sangat panjang. Sebagai gambaran, proses pendampingan di polisi bisa sangat memakan waktu hingga 8 jam.

Belum lagi rasa lelah dan frustasi menghadapi para penegak hukum yang belum memiliki rasa sensitivitas dan sering memberikan komentar bernada sumbang. Terlebih lagi bila kasus yang ditangani macet dan berhenti di tengah jalan, rasa sedih, stres, dan tak berdaya akan mendera. Hal ini kerap memicu munculnya secondary trauma bagi para pendamping. Jika sudah demikian para pendamping pun membutuhkan layanan psikolog, sama seperti para korban.

Meskipun harus melewati jalur terjal dalam menegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual, langkah Veda dan tim relawan KAKG justru semakin solid. Ia merasa jerih payahnya tidak sia-sia mengingat masih banyak yang membutuhkan bantuannya. Apalagi sejak menerima penghargaan di bidang kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022, semakin memantapkan KAKG untuk terus memperjuangkan hak korban kekerasan seksual di Indonesia.

Cara Berkonsultasi dan Mendapatkan Pendampingan dari KAKG

Memang tidak dapat dipungkiri penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual di Indonesia tidak mudah mengingat masih kentalnya unsur patriarki. Salah satu cara memutus mata rantai kekerasan seksual tentu dengan kontribusi kita bersama. “Hal termudah dengan tidak menjadi bystander atau pengamat bila kita dapat melakukan sesuatu. Bila terjadi tindak kekerasan seksual, berdirilah bersama korban dengan bersikap hati-hati, tidak memaksakan keinginan korban, serta menjadi pendengar yang menghormati apa yang korban inginkan,” tutur Veda.

Jika melihat atau mengalami kekerasan seksual, hal pertama yang mesti dilakukan yaitu segeralah mencari informasi mengenai pengacara terdekat untuk mendapatkan pendampingan. Jika ingin berkonsultasi dan mendapatkan pendampingan dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) saat mengalami atau melihat terjadinya kekerasan seksual dapat menghubungi hotline KAKG yang buka setiap Senin-Jumat pukul 08.00-18.00 WIB.

kolektif advokat untuk keadilan gender
Instagram @advokatgender dengan tautan laporan kasus

Hotline KAKG ini bisa melalui email di konsultasi@advokatgender.org atau melalui akun instagram @advokatgender. Di bio instagram @advokatgender terdapat tautan yang bila klik tersedia form AduanKAKG. Di sini pelapor tinggal mengisikan data diri mulai dari nama, nomor telepon yang dapat dihubungi, email, usia, jenis layanan yang diinginkan dengan menyertakan minimal dua bukti pendukung.

Setelah mengisi form AduanKAKG nantinya pelapor akan dijadwalkan konsultasi dengan pengacara melalui WhatsApp, Zoom call, atau via telepon. Setelah menerima laporan, KAKG terlebih dahulu akan menawarkan pendampingan psikologis dengan merujuk korban ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Komnas Perlindungan Anak, dan lembaga-lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan. Jika korban atau pelapor menghendaki dan siap melalui proses hukum, KAKG dapat mendampingi korban sejak tahap pelaporan kepolisian hingga putusan persidangan.

Lamanya waktu untuk proses pendampingan yang diberikan KAKG sangat relatif, tergantung dari beratnya kasus hingga jalur penyelesaian yang dipilih oleh korban, apakah itu jalur hukum atau non hukum. Untuk menyelesaikan kasus non hukum terbilang lebih cepat, berbeda untuk menyelesaikan melalui jalur hukum yang bisa memakan waktu paling tidak 10 bulan mulai proses penyidikan dan pelimpahan berkas. Sementara untuk proses pendampingan pemulihan, tidak ada tenggat yang pasti, semua tergantung trauma dan luka yang dialami korban kekerasan seksual.

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, teknologi digital terutama media sosial bak dua mata pisau yang dapat digunakan untuk menolong sesama seperti yang dilakukan Justitia Avila Veda dan tim relawan KAKG, namun di sisi lain juga banyak kasus kekerasan seksual justru bersumber dari media sosial. Semua sangat tergantung di mana kita memposisikan diri. Apakah sebagai penggiat media sosial yang bijak dalam melindungi korban atau sebagai pelaku kekerasan seksual itu sendiri?

Author: Ninin Rahayu Sari

Architecture Graduate | Content Creator | Former Journalist at Home Living Magazine & Tabloid Bintang Home | Google Local Guide | Yoga Enthusiast

Leave a Reply